SUMUR
LEMBUSURA
Kerajaan
Majapahit dipimpin oleh seorang raja yang adil dan bijaksana bernama Brawijaya.
Beliau mempunyai seorang putrid cantik jelita bernama Dyah Ayu Pusparani. Saat
itu sudah saatnya Dyah Ayu mempunyai pedamping hidup. “Anakku, kau harus segera
menentukan calon pendampingmu,” kata raja Brawijaya kepada putrinya. Dyah Ayu Pusparani
tidak menanggapi ucapan ayahandanya, bahkan mengalihkan pembicaraan ke hal
lain. Ayahandanya tetap mendesak terus agar Dyah Ayu Pusparani secara bijaksana
segera memutuskan pilihan pendamping hidupnya. Akhirnya, Dyah Ayu Pusparani
menyerahkan pilihan jodohnya kepada ayahandanya.
Untuk
menentukan pilihan yang tepat sebagai suami Dyah Ayu Pusparani, Raja Brawijaya
bingung. Untuk mengatasi masalah ini, Raja Brawijaya mengeluarkan sayembara.
Sayembara segera diumumkan.”Barang siapa yang berhasil merentang busur Kyai
Garudayaksa dan sanggup mengangkat gong Kyai Sekardelima, dialah yang berhak
mempersunting Dyah Ayu Pusparani”.
Setelah
sayembara tersebut diumumkan, raja dan pangeran dari berbagai negeri
berdatangan untuk mengadu keberuntungan. Termasuk raja dan pangeran yang pernah
ditolak lamarannya. Bahkan ada yang tangannya tiba-tiba patah karena memaksa
diri merentang busur Kyai Garudayaksa. “Aduh, pinggangku patah,” teriak seorang
pangeran yang mencoba mengangkat Gong Kyai Sekardelima yang besar dan berat
itu.
Melihat
tidak ada orang yang mampu memenangkan sayembara, Raja Brawijaya memberi
perintah kepada Mahapatih agar sayembara segera diberhentikan. “Tunggu! Aku
belum mencoba!" teriak seorang pemuda berkepala seekor lembu. Raja
Brawijaya meluluskan permintaan seorang pemuda itu. "Siapa namamu?"
tanya Brawijaya. "Lembusura." jawab pemuda itu tegas. Ia segera
merentang busur Kyai Garudayaksa dan berhasil. Tepuk tangan penonton membahana
memenuhi alun-alun. Lembusura segera menghampiri Gong Sekardelima yang besar
itu. Gong segera diangkatnya bagaikan mengangkat kapas. Sekali lagi tepuk
tangan menggema tak henti-hentinya.
Di
balik kegembiraan Lembusura itu, Dyah Ayu Puparani tampak sedih bahkan sampai
meneteskan air mata. "Aku tidak mau bersuami orang yang berkepala
binatang!" seru Dyah Ayu Pusparani, sambil menahan tangis. Raja Brawijaya
mendengar ucapan putrinya itu langsung terkulai. Namun, Raja Brawijaya tidak
mau martabat raja diremehkan. Seorang raja harus menepati janji. Apalagi dirinya
dikenal sebagai seorang raja yang adil dan bijaksana. Maka mau tidak mau Dyah
Ayu Pusparani harus menerima Lembusura sebagai suaminya.
Hari
peresmian perkawinan antara Dyah Ayu Pusparani dengan Lembusura telah
ditentukan. Semakin mendekati hari perhelatan itu, Dyah Ayu semakin resah
gelisah. Ia tidak mau makn dan minum. Badannya semakin kurus, matanya cekung,
rambutnya pun mulai rontok. Seorang Inang pengasuh menemani dengan setia.
"Jika Tuan Puteri tidak mau dijodohkan dengan pemuda berkepala lembu itu,
Tuan Puteri harus bisa mencari jalan keluar," kata Inang pengasuh.
Mendengar ucapan Inang Pengasuh, Dyah Ayu Pusparani berniat meninggalkan
istana. Namun, Inang Pengasuh mencegahnya.
Lantas
mereka berembug untuk mencari jalan keluar yang terbaik. Inang Pengasuh
mengusulkan agar Dyah Ayu Pusparani minta sebuah syarat yang harus dapat
dipenuhi oleh Lembusura. Adapun syarat tersebut adalah Lembusura harus dapat
membuatkan sebuah sumur di puncak gunung Kelud. Sumur tersebut diperuntukkan
mandi berdua jika setelah selesai acara peresmian perkawinan. Dengan begitu
pasti Lembusura mau menerimanya. "Aku akan segera menyampaikannya,"
kata Dyah Ayu Pusparani.
Lembusura
menerima syarat yang diajukan Dyah Ayu Pusparani. Di pagi hari yang cerah,
Lembusura segera menuju puncak gunung Kelud. Ia yakin dengan kesaktian yang
dimilikinya permintaan calon istrinya dapat segera terpenuhi. Lembusura mulai
menggali tanah dengan sepasang tanduknya. Tidak lama kemudian lubang galian
sumur sudah cukup dalam. Lembusura sudah tidak tampak lagi dari bibir sumur.
Dyah Ayu Pusparani semakin khawatir, karena jika Lembusura dapat menemukan air,
itu berarti dirinya harus rela kawin dengan Lembusura. "Ananda mohon
gagalkan usaha Lembusura membuat sumur," pinta Dyah Ayu Pusparani kepada ayahandanya.
Raja Brawijaya berusaha menemukan cara yang terbaik.
Timbun
batu-batu besar dan tanah!" perintah Raja Brawijaya kepada para
prajuritnya. Dalam sekejap Lembusura sudah terkubur di dalam sumur. Namun,
karena sakti, dia masih bisa mengancam Brawijaya. "Brawijaya! Engkau raja
yang licik! Meskipun ragaku terkubur hidup-hidup di dalam sumur, tetapi aku
masih bisa membalas kelicikanmu! Setiap dua windu sekali, aku akan merusak
seluruh wilayah kerajaanmu!" Setelah Lembusura mengucapkan kata-kata itu,
suasana kembali tenang. Namun, Raja Brawijaya dan putrinya ketakutan.
Untuk
mencegah kejadian yang tidak diinginkan, Raja Brawijaya memerintahkan kepada
para prajuritnya untuk membangun tanggul pengaman. Para prajurit segera
melaksanakan tugas. Tanggul pengaman segera berdiri kokoh. Kemudian tanggul itu
diberi nama Gunung Pegat. Tetapi, pembalasan Lembusura datang juga. Jika gunung
Kelud meletus, para penduduk menganggap akibat amukan Lembusura untuk membalas
dendam kelicikan Raja Brawijaya.
Pesan
Moral :
Sebuah janji harus ditepati. Apabila kita
tidak menepati janji, bisa jadi akan berakibat hal-hal yang buruk. Misalnya
timbul rasa kecewa dan dendam. Apabila kita tidak bisa menepati janji,
janganlah memberi janji kepada siapapun.
Sumber
: Elexmedia
No comments:
Post a Comment