Detektif Rio : Misteri Seputar Pahlawan 10 Nopember 1945 di Surabaya

Detektif Rio melangkah pelan memasuki sebuah ruang arsip gelap di Perpustakaan Nasional, di mana berbagai dokumen sejarah penting disimpan. Kali ini, ia diberikan misi khusus untuk menyelidiki fakta-fakta di balik Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya—salah satu pertempuran terbesar dalam sejarah Indonesia yang penuh pengorbanan arek-arek Surabaya. Sebuah surat selebaran yang misterius, sosok Bung Tomo yang heroik, serta kematian Jenderal Mallaby membuat peristiwa ini penuh teka-teki.



Rio menyiapkan peralatan waktunya, lalu menekan tombol yang mengirimnya kembali ke Surabaya, akhir Oktober 1945. Ia mendarat di tengah kota yang riuh oleh suara pemuda-pemuda pejuang, arek-arek Surabaya yang bersiap menghadapi ancaman pasukan Sekutu. Ketegangan menggantung di udara, dan Rio bisa merasakan semangat perlawanan yang berapi-api di sekitar dirinya.

Selebaran Ancaman dari Udara

Beberapa hari setelah Rio tiba, sebuah pesawat Sekutu terbang rendah di atas Surabaya, menjatuhkan selebaran di seluruh kota. Selebaran itu berisi ultimatum dari tentara Inggris yang mendesak seluruh arek-arek Surabaya untuk menyerah dan meletakkan senjata. Bahasa dalam surat itu keras dan mengancam, menegaskan bahwa jika para pejuang tetap bersikeras bertahan, mereka akan dihadapi dengan kekuatan penuh Sekutu yang memiliki persenjataan jauh lebih kuat.

Rio mengamati reaksi warga dan para pejuang. Ketakutan dan kekhawatiran tampak di wajah sebagian besar orang, namun hanya sesaat. Tak lama setelah selebaran itu tersebar, suara lantang yang dikenal di seluruh Surabaya mulai berkumandang melalui Radio Pemberontakan. Itu adalah Bung Tomo.

Bung Tomo dan Kobaran Semangat Perjuangan

Bung Tomo, dengan semangat berkobar, mengutuk ancaman itu dan memimpin rakyat Surabaya untuk terus mempertahankan kemerdekaan yang baru saja mereka raih. Rio, yang sudah mendengar tentang Bung Tomo sebagai salah satu penggerak utama perlawanan, tidak bisa menahan diri untuk melihat langsung sosok ini di balik mikrofon.

Di ruangan kecil di pusat kota, Rio menyelinap ke ruang siaran Radio Pemberontakan. Di sana, ia melihat Bung Tomo—seorang pria bersahaja namun penuh semangat, berdiri di depan mikrofon dengan sorot mata tegas. Dengan suara menggelegar, Bung Tomo menyampaikan pesan yang membakar semangat:

"Saudara-saudara sebangsa dan setanah air! Selama banteng-banteng Indonesia masih punya darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu kita tidak akan mau menyerah kepada siapapun juga!"

Kata-kata Bung Tomo menggema di seluruh kota, membakar semangat para arek Surabaya dan membuat selebaran ancaman dari Sekutu tak lebih dari selembar kertas kosong. Di bawah panji merah-putih, para pemuda Surabaya pun bersumpah untuk mempertahankan tanah kelahiran mereka hingga tetes darah penghabisan.

Misteri Kematian Jenderal Mallaby

Dalam beberapa hari berikutnya, perundingan antara pimpinan Surabaya dan tentara Inggris terus berlangsung, namun situasinya semakin menegangkan. Jenderal Aubertin Mallaby, yang memimpin pasukan Inggris di Surabaya, diketahui sebagai sosok yang cenderung diplomatis. Ia sebenarnya menginginkan perundingan damai, namun di belakang layar, ada pihak-pihak tertentu yang menginginkan kekacauan demi mengembalikan kekuasaan Belanda.

Pada 30 Oktober 1945, sebuah kejadian yang mengguncang terjadi: Jenderal Mallaby tewas dalam sebuah insiden di dekat Gedung Internatio. Baku tembak pecah di luar gedung ketika massa Surabaya mengepung kawasan itu, dan dalam situasi kacau tersebut, Mallaby terkena tembakan dan terbunuh. Kematian Mallaby menjadi alasan Sekutu untuk melancarkan serangan penuh terhadap Surabaya. Namun, ada satu kejanggalan yang menarik perhatian Rio—siapa yang sebenarnya menembak Mallaby?

Rio memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam kematian Mallaby. Ia mendengar cerita dari beberapa saksi mata, termasuk seorang pemuda bernama Darto yang berada di lokasi kejadian. Darto mengatakan bahwa ia melihat seorang pria berpakaian rapi, berbeda dari pejuang Surabaya, yang mendekati mobil Mallaby sesaat sebelum tembakan terjadi. Pria itu tampak mengeluarkan pistol kecil dan menembak Mallaby sebelum menghilang di tengah kerumunan.

Curiga ada pihak ketiga yang memanfaatkan situasi untuk memprovokasi perang besar, Rio menemukan sebuah memo rahasia di markas Inggris yang tertinggal. Memo itu berisi pesan dari pihak tinggi Sekutu yang menyebutkan bahwa "mempertahankan Hindia Belanda" adalah prioritas utama, bahkan jika itu berarti memulai konflik besar. Ini menunjukkan bahwa pihak-pihak tertentu mungkin sengaja memicu kekacauan agar Sekutu memiliki alasan untuk menguasai kembali wilayah Indonesia.

Pertempuran 10 November

Dengan kematian Mallaby, situasi semakin memanas. Pada 10 November 1945, pasukan Sekutu melancarkan serangan besar-besaran ke Surabaya. Suara tembakan, ledakan, dan pekik perlawanan menggema di seluruh kota. Ribuan arek-arek Surabaya yang bersenjata seadanya mempertahankan kota mereka dengan penuh keberanian, meskipun mereka tahu bahwa kekuatan Sekutu jauh lebih besar.

Bung Tomo terus menyuarakan semangat perjuangan melalui radio, menolak selebaran dan ancaman Sekutu dengan lantang. “Kita tidak gentar! Kita akan melawan, apapun yang terjadi. Ini adalah tanah kita, kemerdekaan kita!” kata Bung Tomo dalam pidatonya.

Malam itu, Rio menyaksikan pemandangan yang menggetarkan: arek-arek Surabaya, yang meski terluka dan kelelahan, terus bertempur demi mempertahankan kota mereka. Mereka tidak menyerah, meskipun tahu peluang untuk menang kecil. Detektif Rio merasa terpana melihat betapa gigihnya perjuangan rakyat Surabaya, yang tak membiarkan ancaman dan kekuatan besar merampas kemerdekaan mereka.

Kembali ke Masa Kini

Kembali ke masa kini, Rio membawa serta kisah heroik dan juga misteri yang menyelimuti kematian Jenderal Mallaby. Ia menceritakan temuannya kepada Indra, sang sejarawan muda yang mengajaknya untuk menyelidiki peristiwa ini.

“Bung Rio, jadi kematian Mallaby ini bisa jadi bukan karena rakyat Surabaya?” tanya Indra, terkejut.

Rio mengangguk. “Betul, Indra. Ada kemungkinan besar kematian Mallaby dipicu oleh agen tersembunyi dari pihak yang ingin menekan Indonesia. Kematian itu menjadi alasan bagi Sekutu untuk menyerang besar-besaran. Tapi yang pasti, perjuangan arek-arek Surabaya tak ternoda oleh intrik itu. Mereka berjuang dengan hati dan keberanian.”

Indra menghela napas, terharu. “Kisah ini perlu dicatat. Ini bukan sekadar sejarah, tetapi semangat yang harus kita jaga.”

Rio mengangguk setuju. Meski pertempuran telah berakhir, semangat perjuangan arek Surabaya dan pesan-pesan heroik Bung Tomo tetap hidup, menjadi inspirasi bagi generasi penerus bangsa dalam menjaga kemerdekaan dan martabat tanah air.


By. @Septadhana



No comments: