kelahiran Kota Solo bermula dari peristiwa Geger Pecinan, sebuah pemberontakan etnis Tionghoa dan Jawa yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi atau dikenal sebagai Sunan Kuning.
Sunan Pakubuwono II sendiri ketika itu berpihak kepada Belanda. Padahal sebelumnya telah bersumpah setia untuk mengusir kompeni Belanda dari tanah Jawa bersama pasukan Jawa dan pasukan Pecinan (etnis Tionghoa).
Sikap Sunan Pakubuwono II tersebut menyulut pemberontakan dipimpin oleh Sunan Kuning yang adalah sepupu Pakubuwono II sendiri. Pemberontakan itu membuat Sunan Pakubuwono II mengungsi selama sepekan di Ponorogo, Jawa Timur.
Keraton Kartasura hancur Imbas dari Geger Pecinan, bangunannya porak poranda.
Dalam kepercayaan Jawa, apabila kerajaan kalah dalam perang dan hancur maka sudah tak pantas lagi untuk dibangun kembali. Jika dibangun pada lokasi yang sama, kerajaan tersebut akan disepelekan oleh kerajaan-kerajaan lainnya.
Akhirnya Sunan Pakubuwono II memerintahkan pemindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala. Proses perpindahan Keraton Kartasura ke Desa Sala dilakukan pada Rabu, 17 Februari 1745.
Peristiwa tersebut menandai lahirnya Kota Solo.
Proses perpindahan tersebut disebut sebagai Boyong Kedaton, atau perpindahan Keraton Kartasura menuju Keraton baru di Desa Sala.
Kirab Boyong Kedaton dimulai dengan gelaran tari bedhaya dan srimpi, disusul dengan tembakan senapan tiga kali disambung bunyi meriam menggelegar.
Dipimpin langsung oleh Sunan Pakubuwono II, rombongan besar Kerajaan Mataram Islam, berpindah dari Keraton Kartasura yang sudah hancur ke Keraton Surakarta di Desa Sala.
Rombongan keluarga raja dan pejabat tinggi kerajaan dikawal lima batalyon prajurit dan 200 prajurit berkuda.
Seluruh pusaka dan harta benda kerajaan turut diboyong.
Adapun keraton yang baru diberi nama Keraton Surakarta Hadiningrat yang masih digunakan hingga saat ini.
Pusat Kerajaan Mataram Islam yang baru dipindahkan dari Keraton Kartasura yang hancur akibat Geger Pecinan ke Keraton Surakarta di Desa Sala.
Desa Sala kala itu dipimpin oleh seorang sepuh bernama Ki Gede Sala.
Desa Sala dipilih sebagai lokasi keraton baru karena keberadaan Sungai Bengawan Solo yang berfungsi sebagai pusat perdagangan.
Pihak kerajaan melakukan pembebasan tanah untuk dibangun keraton dengan membayar uang kepada penduduk sekitar.
Pembangunan Keraton Surakarta Hadiningrat dimulai pada 1743 hingga 1745.
Secara resmi, Keraton Surakarta Hadiningrat di Desa Sala mulai ditempati pada 17 Februari 1745, meskipun pembangunannya belum selesai sepenuhnya.
Saat ini, masyarakat familiar dengan nama Kota Surakarta dan Kota Solo.
Pengamat Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Prof. Dr. Bani Sudardi menjelaskan, nama Solo diambil dari Desa Sala, lokasi keraton baru.
“Sebutan masyarakat umum, karena tempat itu namanya Sala, maka sering menyebut Sala,” terangnya dikutip dari Kompascom (9/11/2022).
Bani menjelaskan pelafalan nama Sala seperti huruf sa dan la dalam aksara Jawa.
Sayangnya, masyarakat acapkali salah eja dengan menggunakan huruf A, sehingga guna menghindari salah pelafalan tersebut, maka tulisannya diganti dengan Solo, dengan menggunakan huruf O.
“Orang membacanya cenderung menjadi Sala, kemudian diubah tulisannya menjadi Solo. Maksudnya supaya dibaca menjadi Solo, sehingga ditulis Solo,” terangnya.
Meskipun masyarakat lebih familier dengan nama Solo, namun Bani menyatakan bahwa nama administrasi yang digunakan hingga saat ini adalah Surakarta.
Hal ini sesuai dengan informasi dari laman situs DPRD Kota Surakarta, bahwa nama Surakarta digunakan dalam kondisi formal atau pemerintahan.
Sedangkan, nama Solo lebih banyak digunakan dalam percakapan umum.
Baca artikel selengkapnya di sini
#solo
#surakarta #gegerpecinan
#keratonsurakarta
#keratonkartasura
#mataramislam
No comments:
Post a Comment