Tahun 1979
Pagi itu, mendung kelabu masih menggantung pekat di atas langit kendati hujan sudah turun sepanjang malam hingga subuh. Suhu udara dingin menusuk hingga ke tulang, tidak menyurutkan semangat warga Desa Genuk Watu yang hidup di kaki Gunung Semar--dan sebagian besar berprofesi sebagai petani--untuk beraktivitas di ladang dan kebun mereka.
Kondisi tanah lempung yang becek dan licin di sepanjang jalan utama yang belum diaspal, juga tidak mampu menahan langkah penuh semangat Lastri yang hendak mencari kayu bakar ke dalam hutan.
"Hati-hati kalau masuk ke hutan, Mbak Lastri! Sepertinya, semalam ada sambaran petir yang mengarah ke hutan. Nanti jangan-jangan, setrumnya masih nyisa di sekitar area sambaran." Tarno berteriak dari sawahnya, memperingati Lastri yang kini sudah turun dan berjalan di pematang menuju ke arah hutan.
Lastri hanya mengiyakan saja sambil senyum dan tetap melanjutkan langkahnya tanpa gentar. Sebab tanpa kayu bakar itu, Lastri tak akan bisa memasak untuk hari esok karena dia hanya memiliki tungku di rumah gedeknya untuk memasak segala kebutuhan.
Bagi masyarakat di Desa Genuk Watu, kasus sambaran petir masih dianggap sebagai momok menakutkan dan menjadi bagian dari mitos yang dipercaya secara turun temurun, bahwa sambaran petir yang terjadi di desa merupakan bentuk amarah sang Buta Kala kepada umat manusia atau kepada sesama penghuni gaib Alas Wiwitan.
Kasus sambaran petir yang dianggap sebagai ulah sang buta itu akan ditandai dengan jejak khas berupa untaian rumput teki yang terikat membentuk simpul mati pada batang pohon atau bahkan manusia yang tersambar. Dan akan bertahan di sana hingga satu kali dua puluh empat jam sebelum menghilang secara misterius.
Karena itulah, sebelum jangka waktu yang diyakini habis, sang Buta Kala masih akan dianggap berada di sekitar tempatnya menyambarkan petir dan dia bisa menyasar manusia mana pun yang berada dalam jangkauannya untuk dijadikan tumbal amarah berikutnya. Sebab itulah, warga Genuk Watu biasanya baru akan mendatangi lokasi sambaran setelah satu kali dua puluh empat jam dari waktu kejadian. Katanya biar tidak tersetrum.
Akan tetapi, Lastri sang dukun bayi tidak pernah khawatir akan mitos itu. Lastri adalah wanita sederhana yang selalu memasrahkan hidup dan matinya kepada Tuhan semata.
Semenjak menjanda lanjar delapan tahun lalu, Lastri yang kini berusia dua puluh lima tahun selalu rutin melakukan tirakatan agar setiap kali mendapatkan panggilan untuk menolong persalinan, sang ibu beserta bayi yang ditolong bisa selamat. Bisa dibilang, dia adalah janda yang berkelas dan dihormati di desa itu.
Bukan karena dia kaya, tetapi karena sifat dan perangainya yang selalu santun dan penuh wibawa, membuat sesiapa pun, termasuk para pria garong di desanya sekali pun, merasa sungkan untuk menggodanya. Semua orang yang mengenal siapa sosok Lastri pasti akan memandangnya sebagai juru selamat bagi para ibu dan bayi melebihi pamor para bidan maupun dokter.
Setelah tiba di hutan yang sepi dan masih berselimutkan kabut, Lastri menyingsing lengan panjang kebayanya hingga ke siku dan menaikkan kain jarik yang menutup bagian bawah tubuhnya setinggi lutut agar dirinya lebih leluasa untuk bergerak. Meski modernitas mulai masuk ke desanya dan mengubah penampilan sebagian wanitanya, Lastri memilih untuk tetap mempertahankan mode pakaian warisan leluhurnya yang berupa kebaya dan kain jarik. Menurutnya, begitulah caranya mensyukuri sebagian nikmat karena telah dihidupkan di desa dan negara yang amat subur dan penuh warna ini.
Model tatanan rambutnya pun masih sangat tradisional, hanya digelung dan dipasang tusuk konde dari bahan tanduk sapi agar tidak merosot dan terburai tak rapi. Setelah semua persiapannya rampung, Lastri pun mulai mengayunkan sabitnya dan mengganyang setiap ranting mati yang dijumpainya terserak di lantai hutan.
Tiga puluh menit berlalu tanpa terasa, telinga Lastri tiba-tiba mendengar suara rintih meminta tolong yang samar-samar datang dari arah sungai tak jauh dari posisinya. Tertarik oleh jiwa penolong yang sudah mendarah daging dalam dirinya, Lastri pun gegas mencari-cari sumber suara itu dan melihat ke sana kemari untuk menemukan keberadaan suara pria yang tadi merintih meminta tolong.
Sayangnya, tidak ada siapa pun di sekitar sana, dan ketika Lastri hendak kembali ke tepatnya tadi mengumpulkan kayu, kaki kanannya malah tak sengaja menyandung ular sanca berukuran sebesar pahanya dan membuat Lastri terkaget bukan kepalang, hingga dirinya jatuh terduduk dan terdiam beku selama beberapa saat.
"Ya Allah, ular! Jangan ganggu aku, ular. Aku hanya ingin mencari kayu bakar di sini. Tak bermaksud untuk mengganggumu." Begitulah pekik Lastri setelah mampu menguasai kekagetan kala itu.
Tak seperti kebanyakan ular yang sudah pernah Lastri temui, ular yang ini selain cukup besar, dia juga memiliki wujud yang bersinar keemasan.
"Lastri ... tolong aku...." Suara meminta tolong itu kembali terdengar. Namun yang sangat mengejutkan, adalah karena sekarang Lastri tahu bahwa ular tersebutlah yang sejak tadi merintih meminta tolong padanya. Ular dengan suara lelaki yang cukup merdu dan penuh wibawa.
"Tolong aku, Lastri. Tolong cabut paku emas yang tertancap di kepalaku. Aku berjanji, akan mengabulkan semua Keinginanmu jika kamu bersedia menolongku."
Mata Lastri yang sejak tadi terpaku pada badan ular yang bersinar, akhirnya baru tersadar kalau di pusat kepala ular itu tengah terluka oleh keberadaan paku berwarna emas seukuran paku rel kereta api yang tertancap dalam.
Tanpa berkata apa pun, tangan Lastri yang gemeteran bergerak untuk meraih paku yang dimaksud si ular dan menariknya sekuat tenaga. Namun ternyata, itu tidaklah semudah bayangan Lastri sebab begitu ia berhasil mencabutnya, tubuhnya seketika terasa seperti tersengat listrik bertegangan tinggi hingga membuatnya terkapar pingsan tanpa daya.
Ketika Lastri akhirnya kembali tersadar pada sore harinya bersama gerimis yang sudah kembali turun, dia melihat sesosok pria gagah berpakaian serupa raja masa lalu bahkan mengenakan mahkota indah, tengah duduk bersila di sampingnya dan memandang tepat ke arahnya dengan penuh wibawa. Membuat Lastri seketika terhenyak duduk dan menggeser tubuhnya menjauh ripuh.
"Si-siapa kamu?" pekik Lastri tertahan. Pakaiannya sudah mulai basah terguyur gerimis, tetapi anehnya sosok penuh karisma di depannya itu seolah anti air. Pria itu sama sekali tidak basah meski air bertubi jatuh ke permukaan kulitnya yang bertelanjang dada dan hanya ada selembar selendang hijau tersampir di bahu kirinya.
"Namaku Raden Sancaka. Aku salah satu raja penguasa dunia gaib Alas Wiwitan, yang tadi sudah kamu selamatkan. Terima kasih karena sudah menolongku."
Lastri menelan ludah dan memeluk tubuhnya sendiri yang mulai kedinginan. Dia masih tidak bisa berkata apa pun. Terlalu sulit mencerna apa yang tengah terjadi meskipun ia percaya bahwa perkara yang gaib memang ada.
"Kamu ... siluman ular?" Akhirnya Lastri memberanikan dirinya untuk bertanya setelah beberapa saat berlalu dalam keheningan.
Tanpa terduga, sosok gagah di depannya malah tersenyum lebar dengan sangat manisnya. "Aku tidak terikat pada bentuk atau wadah apa pun. Aku bisa menyerupai apa saja. Tapi seperti inilah wadah yang sering kupakai." Sambil mengatakannya, Raden Sancaka melepaskan selendang hijau yang tadi tersampir di bahu kirinya dan menyambung hingga ke celana beludru hitamnya yang cuma sepanjang lutut, kemudian dipasangkan di atas kepala Lastri menyerupai kerudung dan seketika itu, tubuh Lastri tak lagi basah oleh guyuran gerimis. Lastri menjadi anti air serupa Raden Sancaka.
"Saat ini kesaktianku belum pulih karena aku baru saja terluka parah. Jadi, bisakah aku meminta tolong sekali lagi padamu, Lastri?"
"Mi-minta tolong apa, Raden?" Lastri membalas ragu-ragu. Sekadar mencuri pandang ke arah wajahnya pun ia tak berani.
Raden Sancaka kembali tersenyum dan menatap Lastri sarat kehangatan sebelum akhirnya berucap, "Izinkan aku tinggal di rumahmu untuk sementara waktu sampai aku kembali pulih seperti sedia kala."
"Ta-tapi, saya janda dan tinggal seorang diri di rumah, Raden. Jika Raden ikut dengan saya, orang-orang pasti akan bergunjing."
"Hanya kamu yang dapat melihat wujudku, Lastri. Hanya kamu."
Judul: Kisah Cinta Raden Sancaka
Penulis: Ayuwangi
No comments:
Post a Comment