Magelang sebagai Pusat Peradaban Jawa Kuno
Sekitar 1.300 tahun yang lalu, wilayah Magelang bukanlah daerah pinggiran seperti yang sering dibayangkan sekarang. Pada masa itu, kawasan ini pernah menjadi pusat peradaban besar di Asia Tenggara, dengan pengaruh politik, budaya, dan spiritual yang sangat kuat.
Kekuasaan raja-raja Jawa saat itu begitu disegani. Dalam berbagai sumber sejarah, disebutkan bahwa kerajaan-kerajaan lain di Asia Tenggara harus berhati-hati dalam bersikap. Jika tidak tunduk atau menghina penguasa Jawa, nasibnya bisa berakhir tragis, sebagaimana kisah Raja Chenla dari Semenanjung Indochina.
Bahkan Prasasti Nalanda mencatat bahwa Maharaja Balaputradewa, penguasa besar dari Swarnadwipa (Sumatra), merupakan cucu raja Jawa yang dijuluki sebagai “pembunuh musuh-musuh yang perkasa”—sebuah gelar yang menunjukkan reputasi militer dan wibawa luar biasa kerajaan Jawa kala itu.
Penemuan Candi Banon oleh Pemerintah Hindia Belanda
Salah satu bukti penting kejayaan masa lalu Magelang adalah Candi Banon. Candi ini ditemukan kembali oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1935.
Penemuan tersebut dicatat dan didokumentasikan oleh Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala Hindia Belanda), lembaga resmi yang bertanggung jawab atas penelitian dan pencatatan situs-situs purbakala. Foto hitam-putih hasil dokumentasi kolonial inilah yang kini dapat kita lihat dalam bentuk restorasi foto berwarna, memberikan gambaran visual tentang kemegahan Candi Banon di masa lalu.
Kualitas Arca yang Menunjukkan Status Tinggi
Meski struktur utama candinya kini hampir sepenuhnya hilang, kualitas arca-arca Candi Banon dinilai sangat tinggi oleh para arkeolog. Hal ini menunjukkan bahwa Candi Banon bukan candi kecil atau bawahan, melainkan kemungkinan besar merupakan bangunan suci utama yang didanai oleh penguasa atau elite dengan sumber daya besar.
Arca yang paling terkenal adalah arca Ganesha, yang digambarkan dalam posisi duduk utkutikasana dan ditemukan dalam kondisi relatif utuh—sebuah pencapaian artistik yang luar biasa untuk masanya.
Lima Arca Dewata yang Ditemukan
Di situs Candi Banon ditemukan lima arca dewata Hindu berukuran besar yang semuanya terbuat dari batu, yaitu:
-
Arca Siwa
-
Arca Brahma
-
Arca Wisnu
-
Arca Agastya
-
Arca Ganesha
Keberadaan kelima arca ini menunjukkan bahwa Candi Banon memiliki fungsi keagamaan yang penting dan berkaitan erat dengan tradisi Hindu Siwaisme yang berkembang kuat di Jawa pada masa itu.
Pemindahan Arca ke Batavia
Sebagai bagian dari upaya penyelamatan dan pendokumentasian, arca-arca tersebut kemudian dipindahkan ke Batavia (kini Jakarta). Saat ini, kelimanya menjadi koleksi utama Museum Nasional Indonesia, yang dahulu dikenal sebagai Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Meskipun dokumentasi struktur bangunan induk Candi Banon sangat terbatas akibat kondisi reruntuhan, pencatatan arca oleh Dinas Purbakala memastikan bahwa warisan seni rupa Candi Banon tidak sepenuhnya hilang dari sejarah.
Hilangnya Struktur Utama Candi Banon
Saat ini, struktur utama Candi Banon di lokasi penemuan (Dusun Jligudan, Borobudur) telah musnah atau hampir tidak meninggalkan jejak. Upaya rekonstruksi nyaris mustahil dilakukan karena sangat sedikit material asli yang tersisa.
Musnahnya Candi Banon dapat dijelaskan melalui beberapa faktor utama:
1. Material Bangunan yang Rentan
Berbeda dengan candi-candi besar lain di sekitarnya yang dibangun dari batu andesit, Candi Banon dibangun dari batu bata (terakota). Material ini jauh lebih rentan terhadap:
-
Pelapukan alami
-
Erosi
-
Kerusakan akibat cuaca
2. Pengaruh Lingkungan
Lokasi Candi Banon yang relatif dekat dengan Sungai Progo kemungkinan besar mempercepat proses kerusakan akibat:
-
Banjir
-
Sedimentasi
-
Perubahan alur air
3. Alih Fungsi dan Penjarahan Material
Setelah situs ditinggalkan, bata-bata candi yang mudah dipecah dan dipindahkan sangat mungkin diambil oleh penduduk setempat untuk pembangunan rumah atau infrastruktur lain. Proses ini berlangsung perlahan namun pasti, hingga struktur candinya habis.
4. Keterlambatan Upaya Konservasi
Penemuan yang relatif terlambat pada tahun 1935 membuat upaya konservasi struktural sulit dilakukan, karena kerusakan sudah terjadi jauh sebelumnya.
Pelajaran dari Musnahnya Candi Banon
Hilangnya Candi Banon menjadi contoh nyata tantangan besar dalam pelestarian warisan budaya, terutama bangunan yang menggunakan material kurang tahan lama. Tanpa perawatan dan perlindungan, struktur bata pada akhirnya akan kembali menjadi bagian dari tanah, jauh lebih cepat dibandingkan bangunan batu.
Meski fisiknya nyaris lenyap, Candi Banon tetap hidup dalam catatan sejarah, arca-arca yang terselamatkan, dan ingatan kolektif tentang kejayaan Magelang sebagai Bumi Pusaka peradaban Jawa Kuno.