Hujan turun seperti tirai besi ketika Detektif Rio berdiri di tepi sungai yang meluap di Aceh bagian hilir. Air berwarna cokelat pekat menghantam sisa-sisa rumah kayu, menyisakan bau lumpur, solar, dan duka. Di balik pita garis polisi yang berkibar tertiup angin basah, Rio menatap arus deras itu seperti menatap TKP sebuah kejahatan besar—kejahatan yang pelakunya tak selalu berbentuk manusia.
“Ini bukan banjir biasa,” gumamnya.
November 2025 tercatat kelam. Banjir bandang menyapu Aceh, Sumatra Utara, hingga Sumatra Barat. Dalam hitungan jam, sungai-sungai yang dulu jinak berubah menjadi palu raksasa, menghantam permukiman di hilir. Rio ditugaskan bukan untuk menangkap penjahat berwajah, melainkan mengurai rantai sebab-akibat: siapa—atau apa—yang bertanggung jawab?
Jejak di Hulu
Rio memulai penyelidikan dari hulu. Di lereng pegunungan, ia menemukan bekas pembukaan hutan yang menganga seperti luka lama. Tanah merah terkelupas, akar-akar terputus, dan parit-parit ilegal mengarahkan air hujan langsung ke sungai. “Ini bom waktu,” katanya pada catatan lapangan. “Hujan lebat hanyalah pemicu.”
Pulau Sumatra memang beriklim tropis basah—hujan adalah keniscayaan. Namun, deforestasi dan penyempitan sungai telah mengubah risiko menjadi kepastian. Rio mencocokkan data curah hujan dengan peta tutupan hutan: saat ambang daya dukung alam dilampaui, alam tak lagi menahan—ia melepas.
Saksi Ahli dan Fakta Keras
Di Medan, Rio menemui Hatma, pakar hidrometeorologi. “Alam punya kapasitas terbatas,” ujar Hatma. “Ketika manusia merusak lingkungan melebihi ambang, alam membalas dengan bencana.” Rio mencatat kalimat itu tebal-tebal. Banjir bandang ini bukan peristiwa tunggal; ia adalah akumulasi—perubahan iklim memperparah hujan, sementara hutan yang hilang menghapus rem alami.
Langkah struktural—tanggul, normalisasi sungai—penting, tetapi tak cukup. Rio melihat tanggul yang jebol seperti perban pada luka yang tak dibersihkan. Tanpa pelestarian hulu, setiap puncak musim hujan akan mengulang tragedi.
Harga Mati Bernama Hutan
Penyelidikan membawa Rio ke dua nama yang berulang muncul di berkas: Ekosistem Leuser di Aceh dan Batang Toru di Sumatra Utara. Sisa hutan ini adalah benteng terakhir—penjaga daur air. “Harga mati,” tulis Rio. Rehabilitasi lahan kritis, reforestasi di daerah tangkapan air, dan penegakan tata ruang berbasis mitigasi bukan pilihan—melainkan kewajiban.
Ia juga mencatat satu hal yang sering luput: peran masyarakat lokal. Di desa-desa yang menjaga hutan, dampak banjir lebih kecil. Edukasi dan partisipasi terbukti memperkuat perlindungan jangka panjang.
Alarm yang Harus Didengar
Rio menelusuri arsip peringatan dini BMKG. Peringatan cuaca ekstrem telah dikeluarkan. Pertanyaannya: apakah ditindaklanjuti? Simulasi evakuasi, penataan ulang permukiman rawan, kapasitas tanggap darurat—semua harus bergerak serempak. Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) mungkin membantu menekan hujan di lokasi tertentu, tetapi Rio menandainya sebagai pelengkap, bukan pengganti pembenahan lingkungan.
Putusan Tak Tertulis
Di akhir penyelidikan, Rio berdiri kembali di hilir, air mulai surut, meninggalkan lumpur dan kenangan pahit. Ia menutup berkas dengan satu kesimpulan: pelaku utama adalah ketidakseimbangan hubungan manusia dan alam. Ada banyak tangan—kebijakan yang lalai, penegakan yang longgar, keserakahan yang membabi buta.
“Tragedi November 2025 harus menjadi titik balik,” kata Rio kepada para pemangku kepentingan. “Kolaborasi pemerintah, swasta, komunitas, dan pegiat lingkungan adalah kunci. Lindungi hutan, tata ruang berbasis mitigasi, dan tingkatkan kesadaran ekologis. Jika tidak, sungai akan kembali bersaksi—dan vonisnya selalu sama.”
Hujan reda. Namun bagi Detektif Rio, kasus ini belum selesai. Ia hanya akan benar-benar ditutup ketika hulu dipulihkan, hilir dilindungi, dan manusia belajar kembali hidup selaras dengan alam.