Jakarta, kota yang tak pernah tidur, namun ada ribuan rekening yang justru terlelap pulas. Selama 3 bulan, dana-dana tersebut tak bergerak, seolah membeku dalam sebuah jeda waktu yang tak terjamah. Bagi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), keheningan ini justru berteriak nyaring, meneriakkan satu kata: pencucian uang.
Di kantornya yang bergaya minimalis namun sarat teknologi, Detektif Rio, seorang penyidik muda PPATK dengan reputasi cemerlang, menatap tumpukan laporan yang menggunung. Kasus pemblokiran massal ini adalah salah satu yang paling rumit. Bukan karena sulitnya menemukan tersangka, tetapi karena targetnya adalah ratusan rekening, yang sebagian besar milik warga biasa.
"Ini seperti memancing di kolam yang sangat besar," gumam Rio pada asistennya, Sarah. "Sebagian besar mungkin ikan biasa, tapi kita tidak tahu di mana predatornya bersembunyi."
Langkah pertama Rio adalah memisahkan data. Ia menggunakan sebuah algoritma khusus yang ia kembangkan sendiri, menganalisis pola-pola yang tak kasat mata. Ia mencari benang merah yang menghubungkan rekening-rekening 'mati' ini. Beberapa rekening terdaftar atas nama individu yang usianya sudah sangat lanjut, ada pula yang atas nama perusahaan fiktif yang baru didirikan.
"Lihat ini," kata Rio sambil menunjuk layar. "Ada 30 rekening yang semuanya dibuka di cabang bank yang sama, di kota kecil. Dan semua rekening ini didanai dengan jumlah yang sama persis, dalam waktu yang berdekatan."
Petunjuk itu mengarahkan Rio dan Sarah ke sebuah kota di Jawa Tengah. Mereka menyamar sebagai staf bank yang sedang melakukan audit. Rio bertemu dengan manajer cabang, seorang pria paruh baya yang tampak gugup. Rio menyadari ada yang tidak beres. Dengan kecermatannya, ia menemukan kejanggalan: semua formulir pembukaan rekening tersebut ditandatangani oleh saksi yang sama, dengan tulisan tangan yang identik.
"Sepertinya bukan orang-orang ini yang membuka rekeningnya," simpul Rio. "Ini adalah skema yang lebih besar."
Penyelidikan mendalam membawa mereka ke seorang notaris lokal yang terkenal. Rio dan timnya berhasil mendapatkan informasi bahwa notaris tersebut bekerja sama dengan sebuah sindikat pencucian uang internasional. Sindikat ini menggunakan identitas warga yang kurang beruntung—terutama para lansia yang tidak melek teknologi—untuk membuka rekening. Mereka menjanjikan sejumlah uang sebagai imbalan, lalu menggunakan rekening tersebut untuk menampung dana hasil kejahatan, seperti penipuan online dan perdagangan ilegal.
"Mereka menggunakan rekening-rekening ini sebagai 'rekening transit'," jelas Rio. "Dana masuk, dibiarkan diam beberapa waktu untuk mengelabui sistem, lalu ditarik dalam jumlah kecil-kecil ke rekening lain."
Namun, sindikat ini ceroboh. Mereka menggunakan skema yang sama berulang-ulang, dan algoritma Rio berhasil mendeteksinya. Dengan bukti yang kuat, PPATK berkoordinasi dengan pihak kepolisian untuk melakukan penangkapan. Puluhan anggota sindikat berhasil diciduk, dan dana miliaran rupiah yang terlanjur dibekukan berhasil diselamatkan.
Rio menatap layar komputer yang kini menampilkan laporan akhir kasus. Bukan hanya ratusan rekening yang telah ia selamatkan dari pencucian uang, tetapi ia juga berhasil membongkar jaringan kejahatan yang selama ini beroperasi di balik layar. Kasus ini menjadi pengingat bahwa di balik kesunyian rekening-rekening yang tak terpakai, terkadang tersimpan sebuah cerita kejahatan yang siap diungkap.