Detektif Rio dan Lorong Waktu Sumpah Pemuda

Detektif Rio sedang menyusuri lorong-lorong kota tua Jakarta yang sepi ketika tiba-tiba, sebuah cahaya aneh muncul di depannya. Cahaya itu berpendar-pendar, memancarkan aura mistis yang memikat. Tanpa sadar, Rio terhanyut dan mendekati sumber cahaya. Tiba-tiba, dia merasakan tarikannya yang kuat, dan sebelum dia menyadarinya, dia telah masuk ke dalam lorong waktu.



Lorong itu berputar dan mengeluarkan suara gemuruh seperti suara angin yang menerjang. Tubuh Rio terasa melayang, dan di hadapannya, bayangan-bayangan masa lalu mulai terlihat. Ia melintasi berbagai peristiwa sejarah hingga akhirnya berhenti di suatu titik—Jakarta, 28 Oktober 1928.

Jakarta 1928: Kongres Pemuda Kedua

Rio tiba di sebuah aula sederhana yang dipenuhi oleh para pemuda dari berbagai daerah di Indonesia. Wajah-wajah penuh semangat terpancar di mana-mana. Bendera merah putih berkibar di sudut ruangan, meski saat itu Indonesia masih di bawah penjajahan Belanda. Hati Rio berdebar, menyadari bahwa ia telah tiba di salah satu momen paling penting dalam sejarah bangsa Indonesia—Kongres Pemuda Kedua.

Ia melihat seorang pemuda yang sedang berdiri di depan mimbar, dengan lantang membacakan ikrar yang akan menjadi tonggak persatuan bangsa. Di antara hadirin, ada sosok-sosok seperti Soegondo Djojopoespito, Muhammad Yamin, dan WR Supratman yang menciptakan lagu "Indonesia Raya." Semangat persatuan mengalir di udara.

Suara sang pemuda menggelegar saat ia membacakan sumpah:

Sumpah yang pertama:

“KAMI PUTERA DAN PUTRI INDONESIA,
MENGAKU BERTUMPAH DARAH YANG SATU,
TANAH INDONESIA.”

Rio merasakan keharuan mendalam. Sumpah itu adalah deklarasi pertama yang mengukuhkan tanah air sebagai simbol persatuan. Di tengah penjajahan dan ketidakpastian, para pemuda ini dengan tegas menyatakan bahwa mereka berasal dari satu tanah air—Indonesia.

Sumpah yang kedua:

“KAMI PUTRA DAN PUTRI INDONESIA,
MENGAKU BERBANGSA YANG SATU,
BANGSA INDONESIA.”

Teriakan sumpah ini menggema di ruangan, seperti menembus dinding-dinding aula dan menyentuh hati setiap orang yang hadir. Rio melihat bagaimana pemuda dari berbagai suku, bahasa, dan budaya bersatu di bawah satu identitas—bangsa Indonesia.

Sumpah yang ketiga:

“KAMI PUTRA DAN PUTRI INDONESIA,
MENJUNJUNG BAHASA PERSATUAN,
BAHASA INDONESIA.”

Rio bisa merasakan betapa pentingnya momen ini. Bahasa yang mereka junjung bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai simbol persatuan, sebagai jembatan yang menghubungkan berbagai suku dan budaya.

Momen Bersejarah yang Tak Terlupakan

Rio berdiri di sudut ruangan, memperhatikan setiap detik yang terjadi di depan matanya. Dia menyadari betapa kuatnya ikatan yang terbentuk di antara para pemuda ini, dan betapa beraninya mereka menantang penjajahan dengan cara yang damai namun penuh tekad. Sumpah Pemuda ini tidak hanya menjadi cikal bakal kemerdekaan Indonesia, tetapi juga simbol bahwa persatuan adalah kekuatan utama bangsa ini.

Setelah sumpah selesai dibacakan, WR Supratman memainkan "Indonesia Raya" dengan biolanya. Musik itu bergema dengan penuh semangat, seolah-olah mengobarkan api perjuangan di hati setiap orang yang mendengarnya. Rio menutup matanya sejenak, meresapi suasana penuh kebanggaan dan harapan.

Kembali ke Masa Kini

Tiba-tiba, cahaya aneh yang membawa Rio ke masa lalu kembali muncul. Sebelum ia sempat bereaksi, cahaya itu menyelimutinya lagi, membawa dia kembali ke masa kini. Saat ia membuka matanya, Rio mendapati dirinya kembali berada di lorong kota tua Jakarta yang sepi. Meski sudah kembali ke masa kini, hatinya masih bergemuruh dengan semangat Sumpah Pemuda.

Rio tahu, meski ia adalah seorang detektif yang biasa menyelesaikan kasus, pengalaman ini mengajarkannya sesuatu yang jauh lebih besar—tentang pentingnya persatuan, perjuangan, dan kebanggaan terhadap tanah air. Sumpah Pemuda bukan hanya sejarah; itu adalah warisan yang harus terus dijaga dan dijunjung oleh generasi-generasi berikutnya.

Dengan penuh keyakinan, Rio melangkah keluar dari lorong, kembali ke dunia modern, namun dengan semangat yang lebih kuat untuk melindungi dan memperjuangkan warisan bangsanya.


By. AI @Septadhana

No comments: