Bab 1 — Manuskrip yang Berbisik
Sore itu Jakarta diselimuti cahaya matahari lembut yang mulai condong ke barat. Detektif Rio melangkah pelan melewati gerbang Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Ia menyukai tempat-tempat bersejarah, apalagi yang menyimpan momen penting bagi negeri ini.
Udara di dalam museum terasa sejuk, tapi ada aroma khas yang tak bisa ia jelaskan—perpaduan debu kertas tua, kayu jati, dan wibawa masa lalu.
Rio berjalan menyusuri lorong pameran, matanya menangkap foto-foto hitam putih tokoh bangsa, mesin ketik tua, hingga meja perundingan yang dipenuhi bekas tinta dan goresan pena.
Di ujung lorong, sebuah vitrin kaca berdiri. Di dalamnya, tergeletak sebuah lembar kertas berwarna kecokelatan. Tulisan tangan yang tegas dan mantap tergores di atasnya. Ia tahu betul isi kalimat itu—Teks Proklamasi.
Rio menunduk mendekat, matanya mengikuti setiap lekuk huruf. Dalam heningnya ruangan, ia merasa seolah kertas itu berbisik. Kata-kata di dalamnya seperti hidup, mengalir ke telinganya.
"Kami bangsa Indonesia..."
Jantungnya berdegup lebih cepat. Udara di sekitarnya mulai terasa hangat, lalu bergetar. Lampu-lampu redup, dan dari bawah kakinya terdengar gumaman seperti suara bumi yang sedang bangun dari tidur panjangnya.
“Ini… apa?” Rio berbisik, mundur setapak. Tapi sebelum sempat berpikir, pusaran cahaya keemasan melilit tubuhnya. Segalanya berputar cepat, dan dunia di sekelilingnya lenyap.
Bab 2 — Alun-Alun Pegangsaan Timur
Udara panas langsung menyambutnya. Kicauan burung bercampur dengan suara orang berbicara riuh. Rio berdiri di tengah kerumunan manusia—ratusan, bahkan mungkin ribuan orang.
Ia menoleh ke sekeliling. Banyak yang mengenakan pakaian sederhana: kain batik, baju koko, sarung, kebaya lusuh. Sebagian membawa bendera merah-putih yang tampak dijahit seadanya, namun dikibarkan penuh bangga.
Di depan, ada panggung sederhana. Sebuah mikrofon tua berdiri di atas meja kayu. Di belakangnya, rumah bercat putih dengan halaman luas.
Dan di sana, di atas panggung, berdiri Ir. Soekarno—jas putih rapi, peci hitam, tatapannya tegas. Di sampingnya, Drs. Mohammad Hatta dengan kemeja dan jas sederhana, kacamata bulat memantulkan cahaya matahari.
Soekarno: “Saudara-saudara sekalian! Hari ini, di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, kita menyatakan kemerdekaan kita!”
Suara itu menggema, membuat semua hening. Rio merasakan bulu kuduknya meremang.
Soekarno membuka gulungan kertas di tangannya. Jari-jarinya memegangnya mantap, seperti memegang nasib bangsa.
Soekarno: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.”
Setiap kata diucapkan dengan tekanan yang menggetarkan hati. Rio menoleh ke kiri, melihat seorang bapak tua menggenggam tongkat, air mata menetes di pipinya.
Soekarno: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”
Hening sejenak. Lalu Soekarno melipat kertas itu, menatap rakyatnya, dan mengangguk pada Hatta.
Hatta: “Saudara-saudara, kemerdekaan ini bukan hadiah, tapi hasil perjuangan dan pengorbanan. Mari kita jaga bersama. Mulai hari ini, kita berdiri sebagai bangsa yang merdeka!”
Sorak-sorai membahana. Teriakan “Merdeka!” meledak di udara. Beberapa orang memeluk satu sama lain, ada yang menangis, ada yang sujud syukur di tanah.
Rio berdiri terpaku. Air matanya mengalir. Ia ingin berteriak bersama mereka, namun suaranya tercekat.
Bab 3 — Jejak Sejarah
Seorang pemuda di sebelahnya menepuk bahunya. “Saudara, kita telah merdeka! Apa saudara tidak ikut bersorak?”
Rio tersenyum kaku. “Aku… hanya sedang mencoba mengingat setiap detiknya.”
Pemuda itu tertawa. “Ingatlah baik-baik. Hari ini akan jadi hari yang anak cucu kita kenang!”
Tiba-tiba, Rio mencium aroma khas kertas dan tinta—persis seperti yang ia hirup di museum tadi. Ia menoleh, dan melihat Soekarno menyimpan naskah itu di meja, dijaga erat oleh seorang pemuda berseragam sederhana.
Namun sebelum Rio sempat mendekat, pusaran cahaya keemasan kembali muncul. Semuanya mulai berputar, sorakan rakyat memudar, dan dunia sekali lagi menghilang dari pandangannya.
Bab 4 — Kembali ke Masa Kini
Rio membuka matanya. Ia kembali berdiri di museum, tepat di depan vitrin kaca yang memajang manuskrip asli teks proklamasi.
Getaran di lantai hilang, cahaya kembali normal. Tidak ada yang berbeda… kecuali satu hal—di hatinya kini tersimpan kenangan yang tak ternilai.
Ia menatap manuskrip itu lama-lama, lalu tersenyum.
"Sejarah bukan sekadar kata-kata di atas kertas," pikirnya. "Aku sudah melihatnya hidup. Aku sudah mendengarnya diucapkan dengan suaranya sendiri."
Rio melangkah pergi, tapi di langkahnya ada kebanggaan baru. Ia tahu, kemerdekaan bukan sekadar peringatan tahunan—ia adalah nyawa yang harus dijaga setiap hari.
No comments:
Post a Comment