Detektif Rio: Menembus Waktu ke Hari Proklamasi"


Jakarta, sore yang teduh. Museum Perumusan Naskah Proklamasi tampak sunyi, hanya langkah kaki Detektif Rio yang terdengar di lantai marmernya. Aroma kayu tua dan kertas berusia puluhan tahun menguar di udara. Ia sengaja datang untuk melihat manuskrip asli teks proklamasi yang selama ini hanya ia baca di buku sejarah.

Rio berjalan pelan menyusuri lorong pameran, hingga matanya tertuju pada vitrin kaca di ujung ruangan. Di balik kaca itu, sebuah lembar kertas lusuh berwarna kecokelatan terpajang rapi. Tulisan tangan tegas, penuh keyakinan—milik Ir. Soekarno.

"Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia..."

Rio menunduk, menatapnya dalam-dalam. Ia bisa merasakan getaran aneh di dadanya. Tiba-tiba, lantai di bawah kakinya bergetar halus. Lampu-lampu di ruangan redup, lalu udara di sekelilingnya berputar membentuk pusaran cahaya keemasan.

“Ap—apa yang terjadi?!” seru Rio, namun sebelum sempat bergerak, cahaya itu menelannya bulat-bulat.


17 Agustus 1945 — Alun-alun Pegangsaan Timur

Rio terhuyung, lalu berdiri tegak. Udara panas langsung menyambutnya. Di sekelilingnya, ratusan orang berkumpul, wajah-wajah penuh harapan, sebagian membawa bendera merah-putih buatan tangan. Ia melihat panggung sederhana di depan rumah bercat putih.

Di atas panggung itu, berdiri seorang pria berjas putih dan berpeci hitam, memegang gulungan kertas.

Rio tertegun. Ir. Soekarno.

Di sampingnya, seorang pria berkacamata bulat berdiri tegap dengan ekspresi tenang. Drs. Mohammad Hatta.

Suara Soekarno mulai terdengar:

Soekarno: “Saudara-saudara sekalian! Hari ini, di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, kita menyatakan kemerdekaan kita!”

Ia membuka gulungan kertas, matanya menyapu kerumunan.

Soekarno: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia...”

Suara itu berat, jelas, dan menggema di udara, seolah menembus hati setiap orang yang mendengarnya. Rio merasakan bulu kuduknya meremang. Ia melihat seorang ibu muda di sebelahnya menggenggam tangan anaknya, matanya berkaca-kaca.

Soekarno: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya...”

Hatta melangkah maju setelah Soekarno selesai, lalu berkata tegas:

Hatta: “Mulai detik ini, kita bukan lagi bangsa yang terjajah. Kita bangsa merdeka! Dan kemerdekaan ini adalah tanggung jawab kita semua!”

Sorak-sorai membahana. Teriakan “Merdeka!” bergema, menggetarkan udara. Beberapa orang menangis, sebagian lainnya memeluk satu sama lain.

Rio berdiri kaku. Air matanya mengalir, bukan karena sedih, tetapi karena bangga. Ia tahu ia sedang menyaksikan detik paling penting dalam sejarah bangsanya.

Namun tiba-tiba, cahaya keemasan itu kembali muncul di sekelilingnya. Suara rakyat yang berteriak “Merdeka!” mulai memudar. Dunia berputar, dan Rio terhempas kembali.


Museum Perumusan Naskah Proklamasi — Masa Kini

Ia kembali berdiri di depan vitrin kaca yang sama. Manuskrip itu masih di sana, diam dan tak bergerak. Namun kini Rio melihatnya bukan hanya sebagai benda bersejarah, melainkan saksi hidup perjuangan dan pengorbanan.

Rio tersenyum kecil, mengusap sudut matanya.
"Sejarah ini… aku pernah berdiri di dalamnya."


 

No comments: