Thursday, December 25, 2025

Bayang-Bayang Pengkhianatan di Batavia (1722)



Batavia, awal abad ke-18. Kota pelabuhan itu tampak megah dari kejauhan, tetapi di balik tembok-tembok tinggi benteng VOC, jeritan rakyat tertelan oleh derap sepatu tentara dan suara cambuk penguasa. Di tengah ketakutan itulah, dua nama perlahan tumbuh menjadi harapan: Pieter Erberveld dan Raden Kertradria.

Keduanya berasal dari dunia yang berbeda. Pieter adalah pemuda berkulit putih, keturunan Jerman, tumbuh di lingkungan sederhana dekat Gereja Sion, Jalan Jakarta. Ayahnya seorang penyamak kulit, ibunya perempuan Asia bernama Elizabeth Cornelist. Sejak muda, Pieter dikenal rajin, tenang, dan tidak segan membantu siapa pun yang tertindas, tanpa memandang ras atau asal-usul.

Sementara itu, Raden Kertradria adalah bangsawan Jawa, darah Sunan Kalijaga mengalir di tubuhnya. Ia lembut dalam tutur kata, namun teguh dalam pendirian. Kepada rakyat kecil, ia berbicara sebagai saudara; kepada penjajah, ia menyimpan bara perlawanan.

Pertemuan keduanya bukanlah kebetulan. Batavia kala itu adalah kota luka—dan luka itulah yang menyatukan mereka.

Benih Perlawanan

Pieter, yang pergaulannya luas dengan masyarakat pribumi, perlahan menjauh dari akar lamanya. Banyak yang meyakini, ia memilih Islam bukan sekadar keyakinan, melainkan jalan solidaritas. Ia melihat langsung bagaimana VOC menindas, memeras, dan merampas martabat manusia.

Dengan wajah Eropa dan akses ke dalam benteng VOC, Pieter bergerak tanpa kecurigaan. Ia keluar-masuk wilayah Belanda, mengamati, mendengar, dan mencatat. Di balik senyumnya, ia menyusun rencana.

Bersama Raden Kertradria dan tokoh-tokoh lain—Kerta Singa, Kerta Naya, Sara Pada, Singa Ita, Tumbar—mereka mengadakan pertemuan rahasia di rumah-rumah sunyi dan kebun terpencil. Malam-malam Batavia menjadi saksi bisu sumpah mereka: melawan ketidakadilan, apa pun risikonya.

Rakyat mendukung mereka sepenuh hati. Senjata perlahan terkumpul, disembunyikan di luar benteng VOC. Harapan mulai terasa nyata. Untuk pertama kalinya, penjajah tampak bisa diguncang.

Mata yang Mengintai

Namun sejarah jarang berpihak pada yang lemah.

Di antara bayang-bayang, ada mata yang mengintai. Seorang mata-mata VOC melihat aktivitas mencurigakan—gerakan senjata, pertemuan diam-diam, nama Pieter yang disebut-sebut. Laporan itu segera sampai ke telinga penguasa Belanda.

Pieter Erberveld—pemuda yang selama ini dianggap “orang mereka”—dituduh berkhianat.

Pada 23 Januari 1722, dini hari yang dingin, pasukan VOC bergerak cepat. Pintu-pintu didobrak. Pieter, Raden Kertradria, dan rekan-rekannya ditangkap tanpa perlawanan berarti. Harapan yang mereka bangun bertahun-tahun runtuh dalam satu malam.

Penjara dan Neraka

Di balik jeruji besi, kemanusiaan dilucuti. Tubuh mereka disiksa, tulang dipatahkan, darah mengalir di lantai penjara kolonial. Belanda tidak hanya ingin menghukum—mereka ingin menakut-nakuti rakyat Batavia.

Pengadilan digelar, namun keadilan tidak pernah hadir. Vonis telah ditentukan sebelum sidang dimulai.

Hukuman mati.

Gantung.

Eksekusi dilakukan dengan cara paling kejam. Tubuh-tubuh itu digantung di hadapan umum, dijadikan tontonan agar rakyat gentar dan lupa akan keberanian.

Namun Belanda keliru.

Warisan yang Tak Mati

Pieter Erberveld dan Raden Kertradria memang gugur. Tetapi kisah mereka menolak mati. Nama mereka berbisik dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi—tentang persahabatan lintas bangsa, tentang keberanian melawan tirani, tentang harga yang harus dibayar untuk sebuah kemerdekaan.

Batavia kembali sunyi. Tetapi di tanah yang pernah dibasahi darah mereka, benih perlawanan telah tertanam.

Dan sejarah tahu satu hal:
benih itu kelak akan tumbuh.

No comments: