Bayangkan seorang anak berusia lima tahun berdiri di jalan berbatu Roma. Kakinya kecil, telanjang, dan matanya awas—bukan karena ingin bermain, melainkan karena ia tahu satu kesalahan kecil bisa berujung hukuman. Di kota ini, masa kanak-kanak bukanlah masa perlindungan. Ia adalah tahap awal pelatihan hidup.
Di Kekaisaran Romawi kuno, hidup dimulai dengan cepat—dan sering kali berakhir terlalu dini.
Begitu seorang anak mampu berjalan, dunia sudah menuntut sesuatu darinya. Ia bukan lagi sekadar anak; ia adalah pembawa pesan, pembantu rumah, penjaga ladang kecil, atau calon prajurit. Waktu bermain hanyalah sela di antara kewajiban. Roma tidak mengenal konsep “menunggu dewasa”.
Rumah yang Dipenuhi Hierarki
Setiap rumah Romawi adalah kerajaan kecil, dan rajanya adalah paterfamilias—ayah sebagai penguasa mutlak. Di tangannya ada hukum, hukuman, dan keputusan hidup atau mati. Seorang ibu boleh mengasuh, tetapi ayahlah yang menentukan segalanya.
Jika seorang anak melanggar aturan, tongkat dan cambuk bukanlah ancaman—melainkan kenyataan. Tangisan dianggap kelemahan. Luka dianggap pelajaran.
Disiplin keras ini bukan sekadar kekejaman tanpa makna. Bangsa Romawi percaya bahwa ketangguhan dibentuk sejak dini. Anak yang dimanjakan, menurut mereka, akan tumbuh menjadi warga negara yang lemah. Maka masa kecil adalah medan latihan bagi pengendalian diri, kepatuhan, dan kesetiaan.
Tumbuh di Tengah Kewajiban
Seorang anak laki-laki dibesarkan dengan bayangan perang. Sejak kecil, ia diberi pedang kayu dan belati tumpul. Permainan berkelahi bukan hiburan—melainkan persiapan. Tubuhnya harus siap menerima perintah, rasa sakit, dan ketakutan.
Anak perempuan dipersiapkan untuk peran yang tak kalah berat. Sejak dini, mereka belajar mengurus rumah, menjaga adik, dan memahami bahwa masa depan mereka adalah pernikahan dan pengabdian keluarga.
Festival di Tengah Kerasnya Hidup
Namun Roma bukan hanya kota cambuk dan disiplin. Di sela kekerasan hidup, ada momen-momen ketika anak-anak diizinkan merasakan kebersamaan.
Pada bulan Februari, keluarga berkumpul dalam Parentalia, mengunjungi makam leluhur. Anak-anak berdiri di hadapan batu nisan, belajar bahwa mereka adalah bagian dari garis panjang manusia yang pernah hidup dan mati. Dari kecil, mereka diajari satu hal: hidup ini singkat, dan nama keluarga harus dijaga.
Bagi remaja laki-laki, bulan Maret membawa momen menentukan: Liberalia. Saat toga kanak-kanak dilepas dan toga virilis dikenakan, seorang anak tak lagi dianggap bocah. Sejak hari itu, ia adalah warga Roma—dengan tanggung jawab penuh atas tindakannya.
Dan pada bulan Desember, datanglah Saturnalia—hari-hari langka ketika dunia terbalik. Anak-anak tertawa lebih bebas, hadiah dibagikan, dan aturan dilonggarkan. Dalam sekejap singkat itu, Roma terasa manusiawi.
Permainan yang Mengajarkan Kehidupan
Meski hidup keras, anak-anak Roma tetap bermain.
Mereka melempar tulang pergelangan kaki hewan—permainan sederhana yang mengajarkan keberuntungan dan ketangkasan. Anak-anak kaya memiliki mainan rumit: kereta kecil yang ditarik kambing, boneka dengan lengan dan kaki yang bisa digerakkan, dibuat dari terakota atau bahkan gading.
Mainan-mainan itu indah, tetapi tetap mencerminkan dunia dewasa. Boneka perempuan sering dipersembahkan kepada dewa sebelum menikah—tanda bahwa masa bermain telah usai.
Di Roma, bahkan mainan pun mengingatkan bahwa hidup adalah persiapan.
Bayang-Bayang Kematian
Namun tidak semua anak bertahan cukup lama untuk bermain atau merayakan festival.
Hampir separuh anak Romawi kuno meninggal sebelum usia sepuluh tahun. Penyakit, kelaparan, dan minimnya pengobatan mengintai setiap rumah. Karena itu, keluarga memiliki banyak anak—bukan karena berlebih cinta, tetapi karena kenyataan pahit statistik kehidupan.
Meski terbiasa dengan kematian, orang tua Romawi tetap berduka. Batu nisan kecil, relief wajah anak, dan prasasti penuh kesedihan membuktikan bahwa cinta tetap ada—meski diselimuti sikap menerima nasib.
Bisakah Anak Modern Bertahan?
Jika seorang anak modern tiba-tiba terlempar ke Roma kuno, ia mungkin tak hanya berjuang secara fisik, tetapi juga mental. Dunia tanpa perlindungan hukum anak, tanpa hak untuk menolak, tanpa masa kecil yang panjang.
No comments:
Post a Comment