Thursday, December 25, 2025

Cibalay: Ketika Batu-Batu Tua Kembali Bicara dari Balik Hutan Salak


Di balik lebatnya hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, di sebuah lereng sunyi Desa Tapos I, Bogor, tersimpan kisah yang jauh lebih tua dari ingatan manusia. Selama bertahun-tahun, Situs Cibalay hanya dikenal oleh segelintir warga dan peziarah. Namun kini, ia mulai membuka rahasianya—pelan, bertahap, dan mengejutkan.

Semakin dalam diteliti, semakin jelas bahwa Cibalay bukan sekadar tumpukan batu tua. Ia adalah jejak spiritual nenek moyang, sebuah lanskap suci prasejarah yang luas, kompleks, dan terhubung satu sama lain.




Ekspedisi yang Mengubah Peta Sejarah

Hujan, medan terjal, semak belukar, dan jalur hutan yang nyaris tak terlihat menjadi teman setia tim peneliti selama hampir dua pekan. Namun segala lelah terbayar ketika satu demi satu temuan muncul dari balik tanah dan vegetasi.


“Kami mencatat 38 titik potensi cagar budaya. Lima sudah ditetapkan secara resmi, sisanya masih menunggu penelitian lanjutan,” ujar Lia Nuri Rahmawati, arkeolog UGM yang memimpin tim delineasi Balai Pelestarian Budaya IX Jawa Barat.

Bagi tim, ini bukan sekadar pendataan. Ini adalah penyingkapan peradaban.

Dan puncaknya datang ketika mereka menemukan sesuatu yang luar biasa:
punden berundak raksasa—dengan tujuh hingga delapan undakan besar, menhir tegak, altar batu, dan halaman-halaman ritual yang jelas bukan buatan alam.


Punden Berundak: Arsitektur Sakral Nusantara Purba

Situs Cibalay adalah punden berundak, bentuk arsitektur sakral tertua di Nusantara, jauh mendahului candi-candi Hindu-Buddha. Dibangun pada masa Neolitik (sekitar 2500–1500 SM), struktur ini merupakan karya budaya megalitik masyarakat Austronesia awal.

Teras demi teras disusun terbuka, dibatasi dinding batu, tangga, dan menhir. Batu-batunya bukan sembarang batu—ada yang berbentuk pipih, ada yang menjulang seperti tugu, ada pula yang menyerupai mata pedang. Setiap bentuk memiliki makna.

“Ini bukan susunan acak,” jelas Lutfi Yondri dari BRIN.
“Ini adalah modifikasi lanskap yang disengaja untuk kepentingan ritual pemujaan leluhur.”

Nama Cibalay sendiri berasal dari kata Sunda babalay—batu-batu yang disusun untuk fungsi tertentu. Dan fungsi itu, jelas: kesakralan.

Gunung, Air, dan Roh Leluhur

Menariknya, hampir semua punden berundak di Cibalay berada dekat mata air. Bagi manusia purba, air bukan sekadar kebutuhan hidup, melainkan sarana penyucian.

“Air adalah batas antara dunia profan dan sakral,” kata Lutfi.
“Sebelum ritual, manusia purba menyucikan diri. Itulah sebabnya tempat pemujaan hampir selalu dekat sumber air.”

Tak heran jika warga setempat sejak lama memanfaatkan mata air di sela-sela batu, tanpa menyadari bahwa mereka berada di atas struktur suci raksasa yang tertimbun waktu.

Situs yang Hidup, Bukan Fosil Mati

Berbeda dari banyak situs prasejarah lain, Cibalay tidak pernah benar-benar ditinggalkan. Hingga kini, ritual masih berlangsung.

Abah Engkus, juru pelihara situs, mengenang masa kecilnya ketika mengikuti orang tua berdoa kepada leluhur, memohon izin sebelum panen, lalu menutupnya dengan tumpeng dan buah-buahan.

Inilah keistimewaan Cibalay:
bukan hanya artefak masa lalu, tetapi tradisi yang berlanjut.

Temuan Besar di Detik Terakhir

Dua hari menjelang berakhirnya kegiatan delineasi, kejutan terbesar datang.

Di sebuah lembah—bukan di punggungan gunung—tim menemukan punden berundak raksasa dengan lebih dari sepuluh teras, menjulang sekitar 20 meter, diapit dua punggungan bukit. Sebuah konfigurasi yang sangat langka.

“Saya yakin ini punden berundak,” tegas Lutfi setelah meninjaunya.
“Ada teras, ada batu berdiri, ada batu datar persembahan. Indikatornya lengkap.”

Temuan ini belum diberi nama. Namun jelas, ia akan menjadi salah satu situs prasejarah terpenting di Jawa Barat.


Kolaborasi yang Menjadi Kunci

Keberhasilan ini tidak berdiri sendiri. Ia lahir dari sinergi langka:
arkeolog, ahli geodesi, mahasiswa, juru pelihara, warga lokal, hingga dua kementerian—Kebudayaan dan Kehutanan.

Dengan teknologi pemetaan modern seperti NTRIP, tim geodesi menandai batas budaya, sementara arkeolog mengisi maknanya. Data itu lalu diolah menjadi peta kawasan budaya seluas 62 hektar.

Hasilnya mencengangkan: 33 titik baru teridentifikasi.


Cibalay dan Masa Depan Warisan Nusantara

Delineasi ini bukan akhir, melainkan awal. Dari hasil kerja ini akan lahir kebijakan pengelolaan terpadu—agar hutan tetap lestari, budaya tetap hidup, dan situs tetap terjaga.

“Cagar budaya dan alam tidak bisa dipisahkan,” tegas Retno Raswaty.
“Di sinilah keduanya bertemu.”

Di balik sunyi hutan Salak, batu-batu tua Cibalay telah berbicara kembali.
Tentang leluhur.
Tentang ritual.
Tentang manusia yang sejak ribuan tahun lalu telah memahami hubungan antara bumi, air, gunung, dan Yang Maha Kuasa.

Dan kini, giliran kita menjaga cerita itu—agar tidak kembali terkubur oleh lupa.



No comments: