Thursday, December 25, 2025

Wanita-Wanita Pezina Berdarah Asia yang Dihukum Mati di Batavia

Stadspoort, Batavia. Foto sekitar 1900-1910.

Hukuman Kejam bagi Perempuan Pezina di Batavia

Kasus perzinaan bukanlah hal baru di Batavia pada masa kolonial Belanda. Namun, perbuatan tersebut dianggap sebagai kejahatan berat yang melanggar moral, ketertiban, dan norma agama. Para pelakunya tidak dibiarkan bebas, melainkan dijatuhi hukuman yang sangat kejam dan mengerikan.


Pemerintah kolonial Belanda berupaya keras menciptakan citra Batavia sebagai kota yang tertib dan bermoral. Mereka ingin menghapus praktik gelandangan, kecabulan, dan perilaku yang dianggap menyimpang. Karena itu, siapa pun yang terbukti melakukan perzinaan—terutama perempuan—akan menerima hukuman berat sebagai contoh bagi warga lainnya.

Tragedi Sara, Gadis di Bawah Umur

Salah satu kisah paling tragis adalah nasib seorang gadis bernama Sara. Kisah ini dicatat oleh Zaenuddin HM dalam buku Kisah-Kisah Edan Seputar Djakarta Tempo Doeloe.


Sara adalah putri Jaques Speax, anggota Dewan Hindia Belanda. Ia merupakan anak hasil hubungan Speax dengan seorang perempuan Jepang. Ketika Speax dipanggil kembali ke Belanda, Sara dititipkan kepada Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, yang saat itu memimpin Batavia.

Sara, yang baru berusia 13 tahun, dipekerjakan sebagai salah satu dayang istri Coen, Eva. Namun, ia kemudian tertangkap basah sedang berzina dengan kekasihnya, Cottenhoeff, seorang perwira muda berusia 17 tahun, di rumah Coen sendiri.


Akibat peristiwa itu, Cottenhoeff dijatuhi hukuman pancung. Sementara Sara—yang masih di bawah umur—mengalami hukuman yang tak kalah kejam. Ia ditelanjangi dan dipertontonkan di depan umum di pintu masuk Balai Kota Batavia.


Coen murka atas perbuatan tersebut. Ia menolak memberikan pengampunan meskipun para pendeta memintanya untuk bersikap lebih lunak. Sara akhirnya diadili dan dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung.


Ironisnya, ketika Jaques Speax kelak menggantikan posisi Coen sebagai penguasa, ia menolak menghadiri kebaktian gereja bersama para hakim yang pernah mengadili dan mengeksekusi putrinya sendiri.



Kasus Perempuan Asia di Tahun 1639

Hukuman kejam tidak hanya menimpa Sara. Sejarawan Leonard Blussé, dalam bukunya Persekutuan Aneh (2004), mencatat kasus hukum lain yang terjadi pada tahun 1639. Kasus ini melibatkan beberapa perempuan berdarah Asia yang dituduh melakukan perzinaan.


Salah satunya adalah Catrina Casembroot, janda dari Nicholas Casembroot, seorang pedagang di Batavia. Catrina dituduh berzina dengan beberapa pria, baik ketika suaminya masih hidup maupun setelah ia meninggal.


Kasus serupa juga menjerat:

  • Lucia de Coenja, perempuan asal India, istri Anthonij de Coenja.

  • Annika da Silva, seorang perempuan pribumi, istri serdadu VOC bernama Leender Jacobs.

Annika bahkan dituduh tidak hanya berzina dengan beberapa pria, tetapi juga berusaha meracuni suaminya.


Hukuman Mati yang Mengguncang

Pengadilan kolonial Belanda akhirnya menjatuhkan hukuman mati kepada para perempuan tersebut. Catrina Casembroot dieksekusi dengan cara dibenamkan ke dalam tong berisi air hingga tewas.

Sementara itu, Lucia de Coenja, Annika da Silva, dan satu perempuan lainnya diikat pada tiang dan dicekik satu per satu hingga mati. Setelah eksekusi, wajah mereka dicap sebagai tanda aib, dan seluruh harta benda mereka disita oleh pemerintah kolonial.

Moralitas, Kekuasaan, dan Kekerasan

Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa hukum kolonial di Batavia tidak hanya bertujuan menegakkan moral, tetapi juga menjadi alat kekuasaan yang menindas, terutama terhadap perempuan dan kelompok non-Eropa. Tuduhan zina sering kali berujung pada hukuman ekstrem, tanpa mempertimbangkan usia, latar belakang, atau posisi sosial.

Sejarah kelam ini menjadi pengingat bahwa di balik klaim ketertiban dan moralitas kolonial, tersembunyi kekerasan hukum yang tidak manusiawi, terutama terhadap perempuan.


No comments: