Kanal dan Sejarah Kota Jakarta
Cobalah berkeliling Jakarta. Kita akan menemukan banyak saluran air yang disebut kali atau sungai. Namun, tidak banyak yang menyadari bahwa sebagian besar kali tersebut sebenarnya adalah kanal buatan, yang sejak lama berfungsi untuk menopang kehidupan kota Jakarta. Kanal-kanal ini sudah ada sejak masa kolonial Belanda.
Sungai sebagai Nadi Perdagangan Awal
Pada masa lalu, sungai merupakan jalur utama transportasi dan perdagangan. Di wilayah Jakarta, Sungai Ciliwung berperan penting sebagai jalur masuk ke pedalaman serta sumber air tawar bagi pelabuhan Jayakarta. Saat itu, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banten.
Situasi berubah ketika Jayakarta ditaklukkan oleh Belanda dan berganti nama menjadi Batavia pada tahun 1621, tiga tahun setelah Banten menyerah. Lokasi Batavia sangat strategis bagi Belanda untuk menghadapi rival-rival Eropa mereka di Asia Tenggara.
Pengajar dari Hope College, Amerika Serikat, Marsely L. Kehoe, menjelaskan bahwa Jan Pieterszoon Coen memilih kawasan pelabuhan di pantai utara Jawa karena posisinya memungkinkan Belanda menghindari Selat Malaka dan mengendalikan jalur perdagangan melalui Selat Sunda.
Batavia dan Kota Kanal ala Belanda
Sebagai pusat kekuasaan VOC, Batavia dibangun dengan konsep kota Eropa. Jan Pieterszoon Coen memanfaatkan sungai dan kanal sebagai bagian utama tata kota. Sejak pertengahan abad ke-17, VOC membangun tembok kota, benteng, serta jaringan kanal yang terus bertambah.
Awalnya, pemukiman Belanda terpusat di sekitar Kasteel Batavia di wilayah utara. Kota kemudian berkembang ke selatan dengan kanal-kanal yang membentuk blok-blok persegi, tertata rapi dan terencana.
Menurut Kehoe, peta Batavia tahun 1681 dan 1770 menunjukkan kota berbentuk persegi panjang yang dibelah oleh Sungai Ciliwung yang telah diluruskan, dikenal sebagai De Groote Rivier atau Kali Besar. Kanal dan jalan membentuk pola kisi-kisi, dikelilingi tembok kota dan benteng yang dilindungi parit air.
Konsep ini meniru kota-kota di Belanda, seperti Amsterdam, yang juga dikelilingi kanal. Bangunan di Batavia pun mengadopsi arsitektur Belanda dengan penyesuaian terhadap iklim tropis.
Kanal sebagai Alat Kontrol Kekuasaan
Berbeda dengan di Belanda—di mana kanal berfungsi untuk transportasi, pertanian, dan perlindungan—di Batavia kanal juga memiliki fungsi politik dan sosial. Jembatan di kanal-kanal utama sangat sedikit, sehingga secara fisik memisahkan wilayah kota.
Kehoe mencatat bahwa kanal utama hanya memiliki satu jembatan pada peta tahun 1681. Hal ini membuat pergerakan warga menjadi terbatas, terutama bagi pejalan kaki dan kendaraan darat.
Menurut Euis Puspita Dewi dari Universitas Indonesia, minimnya jembatan ini disengaja. Populasi Belanda yang minoritas memanfaatkan kanal untuk membagi dan mengendalikan kelompok etnis lain.
Batavia pun terbagi berdasarkan etnis: pemukiman Belanda, Eropa non-Belanda, Arab dan Moor, India, Tionghoa, pribumi, serta budak. Pemisahan ini menciptakan ketimpangan sosial dan rasial yang tajam.
Salah satu contoh kelam terjadi di kanal Angke, yang menjadi saksi Geger Pacinan tahun 1740, ketika ribuan orang Tionghoa dibantai akibat kebijakan diskriminatif VOC.
Kanal, Penyakit, dan Kemunduran Kota Lama
Kanal juga menjadi titik lemah Batavia. Saat Kesultanan Mataram di bawah Sultan Agung menyerang pada 1628–1629, VOC memang menang, tetapi pasukan Mataram mencemari kanal sehingga memicu wabah kolera.
Selain itu, Batavia berada di wilayah rawan gempa. Kanal dan dataran rendah sering rusak, menyebabkan air tergenang dan menjadi sarang penyakit. Akibat kondisi ini, pusat pemerintahan akhirnya dipindahkan ke wilayah selatan, yang kini dikenal sebagai Jakarta Pusat, sementara kanal-kanal di utara dibiarkan terbengkalai.
Sanitasi dan Ketimpangan Akses Air
Menurut Lilie Suratminto, kanal juga berfungsi sebagai sistem sanitasi. Setiap malam sekitar pukul sembilan, terjadi praktik negen uur bloemen, di mana budak membuang kotoran majikan ke kanal. Pagi hari, kanal tampak bersih dan airnya digunakan untuk mandi serta mencuci.
Namun, penggunaan kanal sangat timpang. Pada akhir abad ke-19, Batavia mulai membangun pipa besi untuk distribusi air bersih—tetapi hampir seluruhnya diperuntukkan bagi orang Eropa. Penduduk pribumi harus membeli air atau mengambilnya dari kanal yang kotor.
Dalam penelitiannya, Euis menjelaskan bahwa orang Eropa menggunakan sumur pribadi, sementara pribumi bergantung pada saluran air umum yang tidak layak. Kondisi ini membentuk stigma bahwa pribumi dianggap tidak memahami sanitasi dan memiliki peradaban rendah.
Warisan Kolonial dan Krisis Jakarta Kini
Ketimpangan akses air ini berlanjut hingga masa kemerdekaan. Jakarta masih sangat bergantung pada air tanah, yang menyebabkan penurunan permukaan tanah. Akibatnya, air laut perlahan masuk ke daratan dan memperparah krisis lingkungan.
Sejarah kanal Batavia menunjukkan bahwa masalah air Jakarta hari ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan warisan panjang ketimpangan, segregasi, dan salah kelola kota sejak masa kolonial.
Pertanyaannya kini: mampukah Jakarta bertahan menghadapi krisis air dan penurunan tanah yang terus terjadi?
No comments:
Post a Comment