BIOGRAFI BUNG TOMO - Surabaya
Sutomo atau di kenal dengan
panggilan Bung Tomo tercatat sebagai pahlawan nasional sejak 2 November 2008
melalui pengukungan oleh Menteri Informasi dan Komunikasi M Nuh. Beliau adalah
tokoh popoler pada peristiwa pertempuran 10 November di Surabaya. Ia seorang
orator, pembakar semangat juang untuk bertempur sampai titik darah penghabisan,
mempertahankan harga diri, tanah air dan bangsa yang telah diproklamasikan
tanggal 17 Agustus 1945.
Biodata Bung Tomo:
Nama
|
Sutomo
|
Nama Panggilan
|
Bung Tomo
|
Tanggal lahir
|
03 Oktober 1920
|
Tempat Lahir
|
Surabaya Jawa Timur
|
Meninggal
|
Padang Arafah, Arab Saudi
|
Pendidikan
|
MULO
HBS
|
Gelar Pahlawan
|
Pahlawan Nasional sejak 2 November 2008
|
Organisasi dan karir
|
|
Sutomo dibesarkan dalam keluarga
kelas menengah. Pendidikan menjadi hal penting yang harus diperoleh Sutomo dan
keluarganya. Sutomo berkepribadian ulet, pekerja keras, daya juangnya sangat
tinggi. Di Usia mudanya Sutomo aktif dalam organisasi kepanduan atau KBI. Ia
juga bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Pada 1944 ia
anggota Gerakan Rakyat Baru . Sejak kedatangan sekutu dan pasukan NICA di
Surabaya, Bung Tomo berjuang mati-matian mempertahankan Surabaya dari
cengkeraman Sekutu dan NICA. Bung Tomo memiliki pengaruh kuat di kalangan
pemuda dan para pejuang. Ia dengan lantang membakar semangat pejuang untuk
bertempur habis-habisan melawan pasukan sekutu. Pertempuran tersebut dipicu
oleh tewasnya Brigjen AWS Malaby dalam kontak senjata dengan pejuang. Meskipun
kekuatan pejuang tidak seimbang dengan kekuatan pasukan sekutu, namun peristiwa
pertempuran 10 November tercatat sebagai peristiwa terpenting dalam sejarah
bangsa Indonesia.
Sekitar tahun 1950-an Bung Tomo mulai aktif dalam kehidupan politik. Ia sempat menjadi Menteri negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim pada 1955-1956 pada kabinet Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga pernah menjadi anggota DPR 1956-1959 dari Partai Rakyat Indonesia. Pada masa pemerintahan orde Baru, Bung Tomo banyak mengkritik kebijakan Soeharto yang dianggapnya mulai melenceng. Akibatnya tanggal 11 April 1978 ia ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah Soeharto. Padahal jasanya begitu besar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Satu tahun setelah di tahan Bung Tomo kemudian di bebaskan dan tidak banyak aktif dalam kehidupan politik.Bung Tomo dikenal sebagai muslim yang taat beribadah. Beliaupun wafat ketika menunaikan ibadah Haji di padang Arafah Makkah tanggal 7 Oktober 1981.Jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.
Bung Tomo :
Si Mbahnya Bonek Arek-arek Suroboyo,
Pengusir Penjajah di Bumi Indonesia
!
Sutomo (lahir di Surabaya, Jawa
Timur, 3 Oktober 1920 – meninggal di Padang Arafah, Arab Saudi, 7 Oktober 1981
pada umur 61 tahun) lebih dikenal dengan sapaan akrab oleh rakyat sebagai Bung
Tomo, adalah pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam membangkitkan
semangat rakyat untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA,
yang berakhir dengan pertempuran 10 November 1945 yang hingga kini diperingati
sebagai Hari Pahlawan.
Sutomo dilahirkan di Kampung
Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo,
seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja sebagai pegawai
pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten
di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor
Belanda. Ia mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat
Pangeran Diponegoro yang dikebumikan di Malang. Ibunya berdarah campuran Jawa
Tengah, Sunda, dan Madura. Ayahnya adalah seorang serba bisa.
Bung
Tomo saat menikahi Sulistina.
Ia pernah bekerja sebagai polisi di
kotapraja, dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke
Surabaya dan menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer.
Masa
muda
Sutomo dibesarkan di rumah yang
sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara dengan terus terang dan penuh
semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan. Pada usia 12 tahun,
ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO, Sutomo melakukan
berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda
dunia saat itu. Belakangan ia menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat
korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.
Sutomo kemudian bergabung dengan KBI
(Kepanduan Bangsa Indonesia). Belakangan Sutomo menegaskan bahwa filsafat
kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari kelompok
ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan
formalnya. Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi
orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum
pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang Indonesia.
Radio
Pemberontakan
Bung Tomo berdusta. Kepada para
pemimpin lokal di Surabaya, ia mengklaim mendapat izin untuk mendirikan radio
dari Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin. Pada kenyataannya, saat bertemu Amir
di Jakarta, izin itu tak diberikan.
Pria bernama asli Sutomo tersebut
melakukannya lantaran kecewa berat. Di Jakarta, pasukan Sekutu datang pada 30
September 1945. Para serdadu Belanda ikut rombongan.
Hal yang membuatnya gundah: bendera
Belanda berkibar di mana-mana. Saat itu, Bung Tomo masih berstatus wartawan
kantor berita ANTARA. Ia juga kepala bagian penerangan Pemuda Republik
Indonesia (PRI), organisasi terpenting dan terbesar di Surabaya saat itu.
Sebelumnya, pada
19 September 1945 sebuah insiden terjadi di Hotel Yamato atau
Hotel Oranye, Surabaya. Sekelompok orang Belanda memasang bendera mereka.
Rakyat marah. Seorang Belanda tewas
dan bendera merah-putih-biru itu diturunkan. Bagian biru dibuang, tinggal
merah-putih, yang langsung dikerek naik.
Sementara, di Jakarta, Bung Karno
meminta para pemuda untuk menahan diri, tak memulai konfrontasi bersenjata.
Lalu, Bung Tomo kembali ke Surabaya.
"Kita (di Surabaya) telah memperoleh kemerdekaan, sementara di ibukota
rakyat Indonesia terpaksa hidup dalam ketakutan," katanya seperti dicatat
sejarawan William H. Frederick dari Universitas Ohio, AS.
Ia mundur dari PRI karena menganggap
organisasi yang dipimpin Soemarsono ini terlampau 'lembek.' Badan Pemberontakan
Rakyat Indonesia (BPRI) didirikannya. Bung Tomo juga mundur dari ANTARA.
Di masa itu, mengundurkan diri bukan
perkara sepele. Bung Tomo sempat mau 'dihabisi' rekan-rekannya di PRI karena
dianggap memecah-belah rakyat.
Radio Pemberontakan Milik Bung Tomo
Sutomo pernah menjadi seorang
jurnalis yang sukses. Kemudian ia bergabung dengan sejumlah kelompok politik
dan sosial. Ketika ia terpilih pada 1944 untuk menjadi anggota Gerakan Rakyat
Baru yang disponsori Jepang, hampir tak seorang pun yang mengenal dia. Namun
semua ini mempersiapkan Sutomo untuk peranannya yang sangat penting, ketika
pada Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu Pemimpin yang
menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya, yang pada waktu itu
Surabaya diserang habis-habisan oleh tentara-tentara NICA. Sutomo
terutama sekali dikenang karena seruan-seruan pembukaannya di dalam
siaran-siaran radionya yang penuh dengan emosi.
Kemudian, sebuah radio akhirnya
benar-benar didirikan Bung Tomo untuk terus memelihara semangat perlawanan.
Radio tersebut diberi nama 'Radio Pemberontakan' dan mulai mengudara pada 16
Oktober 1945. Di hari-hari pertama, pemancarnya masih meminjam milik RRI
Surabaya.
Radio milik Bung Tomo.
Penyiar utamanya, ya, Bung Tomo.
Dengan suara menggelegar dan intonasi memikat, pria kelahiran 3 Oktober 1920
itu secara rutin muncul untuk menyampaikan pidato. Sebelum dan sesudah pidato,
ia selalu selalu meneriakkan "Allahu Akbar."
Menurut Frederick, berdasarkan
penelitiannya untuk Ph.D, cara itu ditempuh demi memikat kalangan santri yang
sangat dibutuhkan tapi banyak yang belum tergerak menceburkan diri dalam
gerakan perlawanan menyambut kedatangan tentara Sekutu.
Jakarta sesungguhnya tak terlalu
suka dengan langkah-langkah suami Sulistina ini. Dianggap terlalu 'menghasut'
untuk perang, melupakan jalan diplomasi. Tapi, mereka tak bisa berbuat banyak.
Siaran juga dilakukan dalam bahasa
Inggris. Orang yang melakukannya adalah perempuan Amerika Serikat kelahiran
Skotlandia, Muriel Pearson, atau lebih dikenal sebagai K'tut Tantri.
K'tut Tantri
K'tut Tantri, yang lahir dengan nama
Muriel Stuart Walker, adalah seorang wanita Amerika Skotlandia yang paling
dikenal karena karyanya sebagai penyiar radio di Republik Indonesia pada saat
Revolusi Nasional Indonesia.
Tantri siaran dua kali dalam
semalam. "Tujuannya adalah memberikan penjelasan kepada mereka yang berbahasa
Inggris di dunia mengenai kisah perjuangan bangsa Indonesia. Kisah dari sudut
pandang rakyat Indonesia sendiri," tulis Tantri dalam otobiografinya,
Revolt in Paradise.
Pada 25 Oktober 1945, pasukan
Inggris yang mewakili Sekutu akhirnya tiba di Surabaya. Brigjen AWS Mallaby
memimpin. Sehari sebelumnya, Bung Tomo berorasi di radio. Petikannya:
"Kita ekstremis dan rakyat sekarang tidak percaya lagi
pada ucapan-ucapan manis. Kita tidak percaya setiap gerakan (yang mereka
lakukan) selama kemerdekaan Republik tetap tidak diakui! Kita akan menembak,
kita akan mengalirkan darah siapa pun yang merintangi jalan kita! Kalau kita
tidak diberi Kemerdekaan sepenuhnya, kita akan menghancurkan gedung-gedung dan
pabrik-pabrik imperialis dengan granat tangan dan dinamit yang kita
miliki..."
"Ribuan rakyat yang kelaparan, telanjang, dan dihina
oleh kolonialis, akan menjalankan revolusi ini. Kita kaum ekstremis, kita yang
memberontak dengan penuh semangat revolusi, bersama dengan rakyat Indonesia,
yang pernah ditindas oleh penjajahan, lebih senang melihat Indonesia banjir
darah dan tenggelam ke dasar samudera daripada dijajah sekali lagi! Tuhan akan
melindungi kita! Merdeka! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!"
Pertempuran akhirnya pecah pada 27
Oktober 1945 setelah pasukan Inggris membebaskan sejumlah intel Belanda yang
ditangkap sebulan sebelumnya. Mereka lalu mengambil alih beberapa instalasi
penting seperti kantor jawatan kereta api, kantor telepon dan telegraf, serta
rumah sakit. Tapi, mereka kalah jumlah.
Kontak senjata sempat jeda setelah
Bung Karno, Bung Hatta, dan Amir Sjarifuddin datang ke Surabaya. Trio ini
datang atas permintaan Inggris yang terdesak. Namun, 3 hari kemudian, Mallaby
tewas.
Sehari setelah kejadian, 31 Oktober
1945, Panglima Sekutu untuk Asia Tenggara Jenderal Philip Christison
menyatakan, "Akan mengerahkan seluruh kekuatan laut, darat, dan udara,
serta seluruh persenjataan modern untuk menangkap pihak yang bertanggung
jawab" atas tewasnya Panglima Brigade ke-49 India itu.
Sekutu tak cuma gertak sambal. Pada
1 November, Divisi ke-5 yang berkekuatan 24 ribu pasukan diperintahkan bergerak
dari Jakarta ke Surabaya. Persenjataan yang dibawa meliputi 21 tank Sherman dan
24 pesawat tempur.
Brigade ke-49 hanya berkekuatan
6.000 orang. Kini, komando ada di tangan Mayjen E.C Mansergh, sebagai pengganti
Mallaby.
Pemimpin Perjuangan Pertempuran
Surabaya 10 November 1945.
Mansergh pula yang pada akhirnya mengeluarkan ultimatum. Pada 9
November pukul 11.00, ia memanggil para staf Gubernur Soerjo lalu menunjukkan
isi ultimatum. Intinya, pertama, seluruh pemimpin rakyat Surabaya harus
menyerahkan diri paling lambat pukul 18.00 di hari itu...dengan tangan di atas
kepala. Kedua, seluruh senjata harus diserahkan. Lalu, pembunuh Mallaby
menyerahkan diri. Jika kedua hal tersebut diabaikan, Sekutu bakal mulai
menyerang pada pukul 06.00 keesokan harinya. Seperti ultimatum terdahulu,
pamflet berisi ultimatum disebar lewat udara. Jika tidak dipatuhi, pada 10
November mulai pukul 06.00, Inggris akan mulai menggempur.
"Mendidih darah mudaku kala itu. Terlukis di depan mataku jika semua ultimatum itu dipenuhi....Tidak jauh dari sana kaki tangan NICA tertawa kecil mengejek, menertawakan banteng Indonesia yang hendak mempertahankan kemerdekaan Tanah Airnya," tulis Bung Tomo dalam buku Pertempuran 10 November 1945.
Kepanikan tak urung melanda. Sejarawan Universitas Ohio, William H. Frederick, mengisahkan, Gubernur Soerjo segera menghubungi Jakarta. Minta saran atas ultimatum ini. Tidak berhasil karena Sukarno dan Hatta tengah berada di Yogyakarta.
Pada sore hari, Bung Tomo menyampaikan pidato radio untuk memberikan semangat.
"Selama banteng-banteng Indonesia
masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih merah dan
putih, maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapa pun
juga," katanya dengan bergelora.
Baru pada pukul 21.00, Soerjo berhasil menghubungi Menteri Luar Negeri Achmad Subardjo. Jakarta mengatakan tak berhasil membujuk Sekutu untuk membatalkan ultimatum. Karena itu, Surabaya diminta memutuskan sendiri langkah yang akan diambil.
Dua jam kemudian, Soerjo menuju radio. Ia menyampaikan sikap Surabaya. "Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum itu," katanya.
Permintaan itu tak dituruti. Pada 9 November, Bung Tomo lagi-lagi berpidato di radio :
"Saudara-saudara rakyat
Surabaya. Bersiaplah! Keadaan genting. Tetapi saya peringatkan sekali lagi. Jangan
mulai menembak. Baru kalau kita ditembak, maka kita akan ganti
menyerang mereka itu."
"Kita tunjukkan bahwa kita itu
adalah orang yang benar-benar ingin merdeka. Dan untuk kita, Saudara-saudara,
lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap. Merdeka
atau mati! Dan kita yakin, Saudara-saudara, akhirnya pastilah kemenangan
akan jatuh ke tangan kita sebab Allah selalu berada di pihak yang benar.
Percayalah, Saudara-saudara!
"Tuhan akan melindungi kita
sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!".
Pertempuran Surabaya, dimulai 10 November sampai tiga pekan berikutnya, berlangsung dahsyat. Kerusakan yang diakibatkan juga luar biasa. Dalam tiga hari pertama saja, 500 bom dijatuhkan di Surabaya dan sekitarnya.
Listrik mati total, begitu pula
dengan angkutan umum. Kota penuh dengan lubang-lubang bekas bom.
Bangunan-bangunan hancur. Pihak Republik coba menghambat laju pasukan Sekutu
dengan membakar perkampungan.
Korban dari pihak Sekutu sedikit
saja. Tak sampai 20 orang yang tewas. Sementara, dari pihak Indonesia, ada
berbagai versi. Versi paling moderat menyebut 2.500 orang tewas dan 7.500 orang
terluka. Di ujung lain, menyebut 15 ribu orang yang tewas.
Setelah kemerdekaan.
Bung
Tomo, di samping kiri Pak Dirman
Bung
Tomo, di samping kanan Pak Dirman
Setelah kemerdekaan Indonesia,
Sutomo sempat terjun dalam dunia politik pada tahun 1950-an, namun ia tidak
merasa bahagia dan kemudian menghilang dari panggung politik. Pada akhir masa
pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Suharto yang mula-mula didukungnya,
Sutomo kembali muncul sebagai tokoh nasional.
Padahal, berbagai jabatan kenegaraan
penting pernah disandang Bung Tomo. Ia pernah menjabat Menteri Negara Urusan
Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim pada
1955-1956 di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga
tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat
Indonesia.
Namun pada awal 1970-an, ia kembali
berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Ia berbicara dengan keras
terhadap program-program Suharto sehingga pada 11 April 1978 ia ditahan oleh
pemerintah Indonesia yang tampaknya khawatir akan kritik-kritiknya yang keras.
Baru setahun kemudian ia dilepaskan oleh Suharto. Meskipun semangatnya tidak
hancur di dalam penjara, Sutomo tampaknya tidak lagi berminat untuk bersikap
vokal.
Ia masih tetap berminat terhadap
masalah-masalah politik, namun ia tidak pernah mengangkat-angkat peranannya di
dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ia sangat dekat dengan keluarga dan
anak-anaknya, dan ia berusaha keras agar kelima anaknya berhasil dalam
pendidikannya.
Makam
Bung Tomo di Pemakaman Umum Ngagel - Surabaya
Pidato
Bung TOMO
Radio Milik Bung Tomo
Berbeda dengan tradisi untuk
memakamkan para jemaah haji yang meninggal dalam ziarah ke tanah suci, jenazah
Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman
Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.
Gelar Pahlawan Nasional.
Setelah pemerintah didesak oleh
Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) agar memberikan gelar
pahlawan kepada Bung Tomo pada 9 November 2007.[2] Akhirnya gelar pahlawan
nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan
tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan
Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November
2008 di Jakarta.
Kontroversi.
Pada tahun 1950-an di Surabaya, Bung Tomo
berusaha sebagai penolong tukang becak pertama yakni dengan mendirikan pabrik
sabun melalui uang iuran tukang becak untuk pendirian pabrik sabun. Pabrik
tersebut didirikan oleh dan untuk tukang becak akan tetapi kelanjutan ide
pendirian pabrik sabun berhasil nihil dan tanpa adanya pertanggungan-jawaban
keuangan.
Sumber :
Beberapa Sumber
No comments:
Post a Comment