Detektif Rio dan Gelombang 17+8


Prolog: Jakarta yang Membara

Tanggal 5 September 2025 menjadi hari yang diingat banyak orang. Jakarta berubah menjadi lautan manusia. Ribuan mahasiswa, aktivis, pekerja ojol, hingga buruh berdesakan di depan Gedung DPR/MPR RI. Spanduk besar terbentang:

“17+8 = Keadilan Rakyat, Bukan Janji Kosong!”

Di antara ribuan suara yang bergemuruh, seorang pria berjaket hitam berjalan tenang. Mata tajamnya menelisik keadaan sekitar. Ia adalah Detektif Rio.

Bukan tugas resmi yang membawanya ke sini, melainkan nurani. Selama bertahun-tahun ia mengungkap kasus kriminal—pembunuhan, korupsi, penyelundupan artefak. Tapi kali ini, ia menyelidiki sistem itu sendiri.


1. Gelombang Mahasiswa

Rio berdiri di dekat pagar kawat berduri. Dari atas mobil komando, seorang mahasiswi berhijab dengan suara lantang berorasi.

Siti Aisyah (Mahasiswa Unpad):
“Rakyat tidak butuh DPR yang hanya makan gaji buta! Publikasikan transparansi anggaran kalian, atau kami akan terus di jalan!”

Massa bersorak. Suara klakson ojol berderu-deru mendukung.

Rio menatap ke sekeliling: polisi berbaris dengan tameng, gas air mata di tangan. Truk Brimob berderet. Situasinya bisa meledak kapan saja.

Ia mengeluarkan buku catatan kecil, menuliskan:
"Rakyat menagih 17 tuntutan jangka pendek. Tapi DPR hanya kasih janji. Di balik itu, ada yang jauh lebih gelap: dana reses."


2. Dana Reses yang Misterius

Malam sebelumnya, Rio diam-diam masuk ke sebuah gedung kecil dekat Senayan, tempat staf DPR menyimpan dokumen. Dengan keterampilan intelijennya, ia berhasil membuka akses ruang arsip.

Di dalamnya, ia menemukan laporan dana reses anggota DPR. Nominalnya mencapai miliaran rupiah per tahun per anggota.

Tapi laporan penggunaan tertulis samar:

  • “Kegiatan komunikasi dengan rakyat” → Rp 300 juta.

  • “Pertemuan aspirasi di daerah” → Rp 450 juta.

  • “Kunjungan kerja lapangan” → Rp 250 juta.

Rio mendengus.
“Tidak ada bukti nyata. Apakah benar digunakan untuk rakyat? Atau untuk pesta politik dan jalan-jalan?”

Ia memotret setiap halaman dengan kameranya. Bukti itu akan jadi amunisi.


3. Pertemuan dengan Andhyta

Esok paginya, Rio duduk di sebuah kafe sederhana di Tebet. Di depannya, seorang perempuan berambut sebahu menatap serius: Andhyta Firselly Utami, salah satu penggagas gerakan 17+8.

Andhyta:
“Selama ini, publik bertanya: apa benar dana reses itu digunakan untuk komunikasi dengan rakyat? Saya yakin tidak.”

Rio:
“Saya sudah temukan laporan internal. Penggunaan dananya kabur. Bisa dipakai untuk apa saja. Tidak ada transparansi.”

Andhyta:
“Itu dia masalahnya. Kalau DPR ingin dipercaya, semua tunjangan harus berbasis kinerja. Rakyat harus bisa mengukur performa mereka. Kalau tidak, mereka cuma hidup dari pajak rakyat tanpa bekerja.”

Rio mengangguk. “Saya akan bongkar ini. Tapi kita butuh bukti konkret. Bukan sekadar opini.”


4. Api di Jalanan

Siang itu, demo memanas. Polisi mendorong massa, mahasiswa melawan. Gas air mata ditembakkan, asap putih menyesakkan dada.

Rio segera meraih Siti Aisyah yang hampir jatuh setelah terkena semprotan water cannon.
“Tenang, saya bantu!” teriak Rio sambil menyeretnya ke tempat aman.

Siti terbatuk-batuk, air matanya bercucuran.
“T-terima kasih, Pak…”

Rio menepuk pundaknya.
“Kamu dan teman-temanmu berani. Jangan takut. Suaramu penting.”

Dari jauh, Rio melihat kamera media meliput. Ia tahu—gambar-gambar itu akan menyebar, membangkitkan simpati nasional.


5. Ancaman yang Mengintai

Malamnya, Rio kembali ke apartemennya. Saat membuka laptop, sebuah email masuk tanpa nama pengirim.

Isi Pesan:
"Berhenti usut dana reses. Atau kau akan bernasib sama seperti Affan Kurniawan."

Rio menutup laptop, tersenyum tipis. “Ancaman klise. Kalau kalian kira saya akan mundur, kalian salah besar.”

Ia menyalakan rokok, menatap ke luar jendela Jakarta yang berkilauan. Baginya, ini bukan sekadar investigasi—ini peperangan melawan sistem korup dan rakus.


6. Rapat Gelap di Dalam DPR

Lewat jaringan informannya, Rio mendengar kabar bahwa beberapa elit DPR menggelar rapat darurat.

Politisi A:
“Kalau isu dana reses ini meledak, habis nama kita.”

Politisi B:
“Tenang. Kita bisa alihkan isu. Janji saja soal reformasi. Rakyat mudah dilupakan.”

Politisi C:
“Bagaimana dengan gerakan 17+8 itu?”

Politisi A:
“Biarkan polisi urus. Kalau perlu, tangkap provokatornya.”

Rio yang menyadap pertemuan itu melalui rekaman suara hanya menggeleng.
“Mereka masih pikir rakyat bisa dibungkam. Mereka salah.”


7. Gelombang Nasional

Di luar Jakarta, aksi serupa membesar:

  • Surabaya: mahasiswa berbaris membawa lilin, mengenang Affan.

  • Bandung: ribuan orang menutup Jalan Dago dengan duduk damai.

  • Makassar: buruh dan nelayan bersatu, menuntut upah layak.

Tagar #RakyatMenuntut178 mengguncang dunia maya, trending nomor satu internasional. Influencer besar ikut bersuara.

Rio berdiri di antara massa, merasakan semangat baru.
“Ini bukan hanya demo. Ini oposisi rakyat.”


Epilog: Detektif Rakyat

Malam itu, di depan gedung DPR, massa menyalakan obor. Dari atas pagar, polisi hanya bisa menatap.

Rio mengangkat catatan tuntutan 17+8 ke udara.
“Selama tuntutan rakyat belum dipenuhi, kita tidak akan berhenti!”

Sorakan menggema.

Rio tahu, perjalanan ini panjang. Masih ada 14 poin tuntutan lain yang menunggu ditepati. Tapi ia juga tahu—perubahan tidak lahir dari janji, melainkan dari keberanian rakyat menagih.

Dan kali ini, ia bukan sekadar detektif kriminal.
Ia adalah Detektif Rakyat.


BBy. @Septadhana


No comments: