Detektif Rio: Dana Reses Berdarah

1. Dokumen yang Tersembunyi

Malam itu, Rio duduk di ruang kerjanya. Tumpukan kertas berserakan: laporan reses DPR yang ia curi diam-diam dari ruang arsip. Dengan pena merah, ia memberi tanda pada angka-angka mencurigakan.

Contoh laporan:

  • Kegiatan Dialog Rakyat – Rp 320 juta

  • Kunjungan ke Daerah Pemilihan – Rp 410 juta

  • Acara Serap Aspirasi – Rp 280 juta

Total: Rp 1,01 miliar.

Tapi ketika Rio menelusuri jadwal resmi DPR, ia menemukan kejanggalan.

  • Dialog rakyat hanya dihadiri 30 orang di sebuah hotel kecil, biaya sewa ruang maksimal Rp 15 juta.

  • Tiket pesawat untuk kunjungan dapil hanya dibeli 2 orang staf, nilainya Rp 8 juta.

  • Serap aspirasi? Ternyata hanya jamuan makan malam di restoran mewah, dihadiri segelintir kolega politik.

“Luar biasa. Anggaran membengkak ratusan juta, padahal realisasi tak sampai sepersepuluhnya,” gumam Rio.


2. Modus Korupsi Terselubung

Rio merangkai modus:

  1. Mark-up Biaya – sewa hotel Rp 15 juta ditulis Rp 150 juta.

  2. Fiktif – laporan ada “dialog rakyat”, padahal acara tidak pernah ada.

  3. Double Claim – satu tiket pesawat ditagih dua kali.

  4. Alih Dana – uang yang seharusnya untuk rakyat dipakai membeli mobil mewah atau memperkuat “kas partai”.

Semua itu legal di atas kertas, karena ditandatangani pejabat resmi.
“Taktik klasik. Korupsi berkedok administrasi. Inilah wajah asli reses DPR,” desis Rio.


3. Narasumber Bayangan

Rio menemui seorang mantan staf DPR bernama Bima, yang kini hidup bersembunyi.

Bima:
“Kami dipaksa bikin laporan fiktif, Pak Rio. Kalau menolak, dipecat. Anggota DPR hanya kasih tanda tangan. Uang sisanya? Masuk kantong pribadi atau dipakai untuk dana politik partai.”

Rio:
“Berarti dana reses bukan untuk komunikasi rakyat, tapi untuk memperkaya diri dan mesin partai?”

Bima:
“Benar. Kami kadang bikin foto-foto palsu, seolah ada kegiatan dengan rakyat. Padahal itu acara pura-pura. Bahkan ada yang pinjam orang untuk jadi ‘peserta aspirasi’.”

Rio merekam semua pengakuan itu. Suara Bima gemetar, ketakutan.


4. Tembok DPR

Dengan bukti di tangan, Rio mencoba menghubungi beberapa anggota DPR untuk konfirmasi. Tapi jawabannya klise.

Anggota DPR A:
“Itu prosedural. Semua sudah sesuai aturan.”

Anggota DPR B:
“Kalau ada kejanggalan, itu urusan staf teknis, bukan anggota.”

Anggota DPR C:
“Kami bekerja keras. Jangan hanya lihat anggaran. Lihat juga pengorbanan kami.”

Rio menutup telepon dengan senyum dingin. “Kalian pintar menyamarkan dosa dengan kata ‘legal’.”


5. Pertemuan Gelap

Malam berikutnya, Rio dihubungi seseorang. Lokasinya: basement parkiran sebuah gedung kosong.

Seorang pria bersetelan rapi muncul. Ia bukan sembarang orang—ia lobiis politik.

Lobiis:
“Kamu cari masalah besar, Rio. Dana reses itu urat nadi DPR dan partai. Kalau kamu buka, seluruh sistem bisa runtuh.”

Rio:
“Kalau sistemnya busuk, lebih baik runtuh. Rakyat berhak tahu.”

Lobiis:
“Kau pikir rakyat peduli detail angka? Mereka hanya marah sesaat, lalu lupa. Tapi kalau kau terus gali, bisa saja kau ikut ‘hilang’.”

Pria itu pergi, meninggalkan ancaman yang terasa nyata.


6. Bocoran ke Publik

Rio tahu waktunya terbatas. Ia memutuskan mengirim dokumen hasil investigasinya ke media independen dan jaringan mahasiswa.

Keesokan harinya, berita meledak:

📢 “Skandal Dana Reses DPR: 70% Biaya Diduga Mark-Up, Rakyat Hanya Jadi Alat Laporan Fiktif.”

Media sosial langsung bergemuruh. Tagar baru muncul: #ResesAtauRekayasa.

Mahasiswa turun lagi ke jalan, kali ini dengan spanduk bertuliskan:
“Bongkar Dana Reses! Buktikan DPR kerja untuk rakyat, bukan kantong pribadi!”


7. Balasan DPR

DPR panik. Dalam rapat darurat, pimpinan DPR menyebut laporan itu fitnah.

Pimpinan DPR:
“Semua sudah sesuai aturan. Jika ada penyalahgunaan, itu oknum.”

Tapi rakyat sudah tidak percaya.

Di luar gedung, ribuan massa berteriak:
“Bukan oknum, tapi sistem! Transparansi sekarang!”

Rio berdiri di tengah massa, tenang, sambil merekam setiap detik.


8. Konspirasi Terungkap

Lewat penyelidikan lebih dalam, Rio menemukan pola:

  • Setiap anggota DPR mendapat dana reses miliaran.

  • Sebagian dana dipotong 30–40% untuk kas partai.

  • Sisanya masuk rekening pribadi, dibungkus kwitansi palsu.

  • Beberapa perusahaan event organizer fiktif dipakai untuk mencuci uang.

“Ini bukan sekadar korupsi individu. Ini korupsi sistematis, dirancang agar terlihat sah,” pikir Rio.


Epilog: Detektif Rakyat

Malam itu, di depan gedung DPR, ribuan lilin menyala. Massa menyanyikan lagu perjuangan.

Rio menatap langit Jakarta. Ia tahu, apa yang ia buka baru awal dari gunung es.

“Selama rakyat berani menagih, kebusukan ini tidak bisa lagi disembunyikan.”

Dan di tengah gelombang 17+8, nama Detektif Rio mulai disebut-sebut.
Bukan hanya detektif kriminal, tapi detektif yang melawan korupsi berjubah legalitas.


By: @Septadhana


No comments: