Thursday, December 25, 2025

Nyai Dasima: Cinta, Iman, dan Darah di Tepi Ciliwung


Batavia pada masa kolonial bukan hanya kota pelabuhan dan perdagangan, tetapi juga kota rahasia—tempat kekuasaan, uang, dan perempuan pribumi bertemu dalam hubungan yang tak pernah benar-benar setara. Di antara kisah-kisah kelam itu, satu nama terus bergema melintasi zaman: Nyai Dasima.

Ia bukan bangsawan. Bukan pula perempuan terpelajar. Dasima lahir di Desa Kuripan, Bogor, dari keluarga sederhana. Seperti banyak perempuan pribumi lainnya, ia datang ke Batavia membawa harapan: hidup yang lebih layak, keluar dari kemiskinan, dan masa depan yang lebih baik.

Namun Batavia tidak pernah memberi apa pun tanpa harga.


Kehidupan sebagai Nyai

Tak lama setelah tiba di kota, kecantikan Dasima menarik perhatian Edward Williams, seorang Inggris kaya, dekat dengan lingkar kekuasaan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles. Williams tidak menikahinya. Ia hanya “memelihara”.

Sejak saat itu, Dasima menjadi seorang nyai—hidup serumah, berpakaian layaknya istri, memiliki rumah mewah, tetapi tanpa hak hukum dan tanpa kehormatan sosial. Dari hubungan itu lahirlah seorang anak perempuan bernama Nancy, satu-satunya cahaya dalam hidup Dasima.

Mereka tinggal berpindah-pindah, dari Curug di Tangerang hingga kawasan Pejambon di Gambir, di sebuah rumah besar yang membelakangi Kali Ciliwung, sungai yang kala itu masih jernih dan tenang—seolah tak pernah membayangkan darah yang kelak mengalir di dalamnya.

Meski hidup bergelimang harta, Dasima menyimpan kegelisahan. Ia tahu, di mata agama dan masyarakat, hidupnya penuh cela. Kekayaan tidak mampu menenangkan batinnya.


Godaan untuk Pergi

Setiap sore, Dasima kerap berkeliling Batavia dengan delman—melewati Prapatan, Senen, Kwitang. Di sanalah takdir mulai bergerak pelan namun pasti.

Seorang lelaki Betawi bernama Samiun, yang telah beristri, jatuh hati padanya. Ia bukan orang kaya, tetapi pandai merayu. Dengan bantuan Mak Buyung, pembantu Dasima yang tinggal di Kwitang, benih perubahan mulai ditanam.

Mak Buyung tidak merayu dengan harta, melainkan iman.

Ia berbicara tentang dosa, tentang zina, tentang hidup yang kelak harus dipertanggungjawabkan. Kata-kata itu menusuk Dasima lebih dalam daripada kemiskinan yang pernah ia alami.

Dan pada akhirnya, Dasima memilih pergi.

Ia meninggalkan rumah besar, meninggalkan Edward Williams, bahkan meninggalkan putrinya, Nancy. Pilihan itu bukan kemenangan—melainkan pengorbanan.


Cinta yang Berujung Petaka

Samiun menikahi Dasima. Istri pertamanya, Hayati, menyetujui dengan satu syarat: tidak tinggal serumah. Namun waktu mengubah segalanya. Samiun lebih sering bersama Dasima, lebih menyayanginya, dan perlahan melupakan Hayati.

Kecemburuan tumbuh menjadi kebencian.

Hayati merasa terbuang. Ia melihat Dasima bukan sebagai istri kedua, melainkan perampas. Dalam gelapnya hati, ia memerintahkan Bang Puase, jagoan Kwitang, untuk menghabisi nyai itu.

Malam itu, Dasima dan Samiun hendak menghadiri sebuah hajatan di Rawa Belong. Mereka tak pernah sampai.

Di jembatan Kwitang, Dasima dibunuh. Tubuhnya dibuang ke Kali Ciliwung—air yang dulu mengalir tenang kini menjadi saksi bisu kejahatan.


Anak yang Menemukan Ibunya

Pagi hari berikutnya, tragedi mencapai puncaknya.

Nancy, anak kecil yang tak tahu apa-apa, melihat sesuatu mengambang di sungai. Ia mendekat. Dan di sanalah ia melihat wajah ibunya—dingin, diam, dan tak lagi bernapas.

Jeritan kecil itu mengundang warga.

Dua tukang getek mengaku melihat pembunuhan itu. Kesaksian mereka membawa Bang Puase ke pengadilan kolonial.


Tali Gantung di Batavia

Hukum kolonial bergerak cepat—bukan demi keadilan perempuan pribumi, tetapi demi ketertiban kota.

Bang Puase dijatuhi hukuman gantung. Eksekusi dilakukan di depan Balai Kota Batavia, disaksikan ratusan orang. Tali melilit leher, papan dijatuhkan, dan satu nyawa berakhir di hadapan publik.

Namun Dasima tak pernah mendapatkan keadilan yang sama.

Ia tetap dikenang bukan sebagai korban sistem, melainkan sebagai nyai—label yang terus melekat bahkan setelah kematiannya.


Warisan Sebuah Tragedi

Kisah Nyai Dasima hidup lebih lama daripada pelaku-pelakunya. Ia ditulis menjadi novel, dipentaskan di sandiwara, diceritakan dari mulut ke mulut.

Bukan karena skandalnya, melainkan karena tragedinya.

Kisah tentang perempuan yang terjepit di antara kekuasaan, iman, cinta, dan kecemburuan. Tentang pilihan yang tampak benar, tetapi berujung maut.


Dan tentang Batavia—kota yang membangun kemegahannya di atas air sungai…
dan air mata perempuan-perempuan yang tak pernah benar-benar dilindungi.


@RSW




No comments: