Thursday, December 25, 2025

Detektif Rio dan Arsip Sunyi Batavia


Hujan turun tipis di kawasan Kota Tua Jakarta ketika Detektif Rio berdiri di depan bangunan tua berplang Arsip Nasional Republik Indonesia. Bangunan itu tampak tenang—terlalu tenang—seperti menyimpan rahasia yang sudah ratusan tahun menunggu untuk dibuka.

Rio datang bukan karena kasus pembunuhan.
Bukan pula pencurian.

Ia datang karena sejarah yang sengaja disembunyikan.

1. Lemari Besi VOC

Di ruang arsip kolonial, Rio ditemani seorang arsiparis tua bernama Pak Herman, pria yang hafal letak dokumen seperti orang menghafal wajah anaknya sendiri.

“Ini arsip-arsip VOC abad ke-17,” kata Pak Herman sambil membuka lemari besi berderit.
“Banyak yang jarang disentuh. Terlalu kotor… secara moral.”

Rio tersenyum tipis.

Ia membuka dokumen pertama bertanggal 21 Januari 1638.

Larangan bagi orang Jawa membawa keris atau senjata apa pun memasuki Batavia.
Pelanggaran dihukum rantai selama tiga tahun.

Rio terdiam.
Ini bukan soal keamanan, pikirnya.
Ini soal melucuti martabat.

“Keris bukan sekadar senjata,” gumam Rio, “itu identitas.”

Pak Herman mengangguk pelan.
“VOC tahu itu. Makanya mereka larang.”


2. Kota yang Ditutup Tembok

Rio melangkah ke peta besar Batavia tahun 1629.
Tembok kota melingkar rapat seperti jerat.

“Jan Pieterszoon Coen,” kata Rio lirih.
“Bukan membangun kota… tapi membangun kandang.”

Ia membaca kutipan laporan pengawas kota:

Warga Batavia semakin merasa unggul dan terpisah dari wilayah luar.

Rio menutup mata sejenak.
Mentalitas katak dalam tempurung—itulah yang diinginkan VOC.
Kota kecil yang merasa pusat dunia, agar mudah dikendalikan.


3. Orang Jawa yang Dihapus dari Kota

Dokumen berikutnya bertanggal 6 Agustus 1640.

Orang-orang Jawa dilarang tinggal di Batavia.
Masuk kastil hanya dengan izin pejabat VOC.

Rio mengepalkan tangan.

“Ini pembersihan sosial,” katanya tegas.
“Mereka takut pada jumlah, bukan senjata.”

VOC tidak ingin Batavia menjadi kota Nusantara.
Batavia harus menjadi Eropa kecil, berdiri di atas penderitaan pribumi.


4. Petasan yang Dianggap Ancaman

Rio beralih ke arsip komunitas Tionghoa.

12 April 1697 — Larangan pemasangan petasan.

Alasannya: kebakaran.

Rio tersenyum pahit.
“Klasik. Budaya disamarkan sebagai bahaya.”

Petasan bukan sekadar suara.
Ia adalah pengusir roh jahat, simbol harapan, penanda tahun baru.

VOC memadamkannya bukan demi keselamatan,
melainkan demi membungkam identitas.


5. Pajak dan Kota yang Dibangun dari Keringat

Rio menemukan laporan keuangan tahun 1756.

15 jenis pajak.

“VOC bangkrut tapi pura-pura makmur,” kata Rio.
“Mereka bangun kota pakai darah orang lain.”

Orang Tionghoa kaya diperas.
Pribumi tuan tanah ditekan.
Sementara VOC menyebutnya “administrasi”.


6. Aturan Paling Sunyi

Rio berhenti di satu halaman kecil.

Penjual sirih wajib mengikat dagangan sepanjang ±46 cm.

Rio terdiam lama.

“Inilah yang paling kejam,” katanya akhirnya.
“Mengatur hal remeh untuk membuat rakyat merasa tak berdaya.”

Bahkan pedagang roti:

Dilarang mengantar dagangan lewat pukul 08.00 pagi.

Kekuasaan kolonial bukan hanya senjata dan pajak,
tetapi aturan kecil yang menghancurkan kebebasan pelan-pelan.


7. Kesimpulan Detektif Rio

Rio menutup arsip itu satu per satu.

“Batavia bukan hanya kota kolonial,” katanya pada Pak Herman.
“Ini arsip trauma.”

VOC menciptakan sistem:

  • Memisahkan ras

  • Menakut-nakuti budaya

  • Memeras ekonomi

  • Mengontrol pikiran

“Dan ironisnya,” lanjut Rio,
“banyak pola ini masih hidup—dalam bentuk baru.”

Pak Herman menatap Rio lama.
“Jadi… apa kasusnya selesai?”

Rio mengenakan mantelnya.

“Belum,” jawabnya.
“Karena sejarah belum selesai bicara.”

Di luar, hujan berhenti.
Kota tua Batavia berdiri diam—
seperti saksi bisu yang akhirnya mulai didengar.


By. @RSW

No comments: