Saturday, December 06, 2025

Detektif Rio dan Banjir Bandang Aceh: “Kota Zombie”


Hujan deras baru saja berhenti ketika helikopter BNPB menurunkan Detektif Rio di atas lapangan kecil yang kini berubah menjadi rawa. Aceh Tamiang, biasanya tenang, kini tampak seperti dunia lain—sunyi, gelap, dan penuh lumpur pekat. Dari udara, kota itu terlihat seperti bayangan kelabu tanpa cahaya.

Begitu kakinya menyentuh tanah, aroma busuk langsung menusuk hidungnya—campuran bangkai hewan, lumpur, dan sampah yang menumpuk. Para warga yang selamat berkerumun di bawah tenda darurat, wajah mereka pucat, mata merah, dan suara nyaris hilang. “Seperti kota zombie,” salah satu relawan berbisik pada Rio. Dan Rio setuju.

Misi Rio: Mencari Pemicu Banjir Misterius

Rio dipanggil ke Aceh bukan hanya untuk membantu evakuasi, tetapi untuk menyelidiki sebuah rumor: bahwa banjir bandang ini bukan sekadar bencana alam, melainkan akibat kelalaian—atau kesengajaan—pihak tertentu.

Selama seminggu terakhir, laporan-laporan aneh muncul:

  • Penjarahan yang terjadi tepat setelah listrik padam total

  • Orang-orang misterius terlihat membawa truk kayu di tengah malam sebelum banjir

  • Dan yang paling mencurigakan: bendungan kecil di pegunungan jebol bukan karena hujan, tetapi karena baut-bautnya dilepas.

Rio menegakkan jaket kulitnya yang sudah basah. “Ini bukan banjir biasa,” gumamnya.


Jejak Pertama: Bendungan yang Sengaja Dirusak

Dengan ditemani seorang relawan lokal bernama Fatimah, Rio menempuh jalur berlumpur menuju pegunungan. Di sana, ia menemukan reruntuhan bendungan: beton retak, tanah longsor, dan air sungai yang kini mengalir bebas seperti naga lepas.

Tetapi satu hal membuat Rio berhenti.

Bekas alat.
Pada baut-baut yang hilang, ia melihat goresan logam yang rapi—bukan akibat tekanan air, melainkan pekerjaan manusia.

“Ini dirusak,” kata Rio pelan.

Fatimah menelan ludah. “Siapa yang mau merusak bendungan? Untuk apa?”

Rio menatap jauh ke arah kota gelap di bawah sana. “Untuk menutupi sesuatu.”


Jejak Kedua: Gudang Kayu Ilegal

Saat kembali ke kota, Rio menemukan sebuah gudang besar yang nyaris roboh, penuh tumpukan kayu basah. Kayu itu bukan jenis sembarangan—ini kayu hasil pembalakan liar. Dan dari berkas dokumen yang tercecer, Rio menemukan kartu pengiriman tanpa nama tetapi bertanggal satu hari sebelum banjir datang.

“Pembalakan liar… lalu bendungan jebol… lalu banjir bandang,” Rio merangkai petunjuk.

Skenarionya mulai jelas:
Para penjarah bukan warga lokal, melainkan sindikat yang memanfaatkan kekacauan untuk menghilangkan barang bukti: kayu ilegal.


Malam Paling Gelap: Penangkapan di Kota Zombie

Malam itu, ketika Rio dan Fatimah menyisir kota yang gelap gulita, mereka melihat cahaya senter bergerak cepat. Sekelompok pria sedang memindahkan kayu dari gudang ke perahu kecil untuk kabur lewat sungai.

“Mereka kembali,” bisik Rio.
Fatimah mengangguk, “Kita harus menangkap mereka.”

Dengan langkah cepat, Rio menyergap mereka. Air lumpur memercik saat perkelahian singkat pecah. Di tengah kegelapan, hanya suara benturan dan teriakan yang terdengar. Setelah beberapa menit yang menegangkan, sindikat itu berhasil ditangkap.

Pemimpinnya, pria berwajah keras, akhirnya mengaku:
“Mereka suruh kami buka bendungan… biar jejak kayu hilang.”

Rio mengepalkan tangan. Bukan hanya kelalaian—ini kejahatan lingkungan yang disengaja, dengan korban satu kota.


Akhir Penyelidikan

Seminggu kemudian, Aceh mulai pulih. Lampu-lampu darurat sudah menyala, relawan datang lebih banyak, dan para warga mulai membenahi rumah yang tersisa.

Detektif Rio berdiri di tepi sungai, menatap air yang masih kecokelatan.

Fatimah bertanya pelan, “Kota ini akan pulih, kan?”

Rio mengangguk. “Iya. Luka alam bisa sembuh… tetapi luka yang dibuat manusia harus dihentikan dulu.”

Ia berjalan pergi, membawa bukti-bukti yang akan membuka tabir kejahatan di balik banjir bandang Aceh—bencana yang mengubah kota menjadi seperti dunia zombie selama satu pekan penuh.


@RSW


No comments: