Sebuah Kasus Pembunuhan Psikologis yang Tak Biasa
Bab 1: Simfoni Kematian
Di dalam Studio Musik Senandika, sebuah ruangan kedap suara di lantai tiga gedung lama di Kemang, tubuh Felia Armawati, 35 tahun, pianis ternama dan dosen etnomusikologi, ditemukan tewas di depan grand piano Steinway & Sons yang ia gunakan hampir setiap hari.
Polisi setempat memanggil Detektif Rio pukul 04:00 pagi. Ia datang mengenakan mantel hujan, dengan kopi pahit dalam termos logam.
Felia ditemukan dengan luka tusuk tunggal di dada kiri, namun tidak ada jejak darah yang memercik, seolah ia tidak melawan. Di samping tubuhnya tergeletak lembaran partitur kosong... dengan satu nada ditulis dengan darah: D♯.
Bab 2: Panggung yang Disiapkan
Detektif Rio memeriksa ruangan.
Ruangan studio itu kedap suara, hanya ada satu pintu masuk. Tidak ada tanda perlawanan. Tidak ada sidik jari di senjata tusuk (pisau piano technician). Kamera CCTV di lorong mati sejak pukul 01:47 dini hari.
Di sekitar mayat:
-
Tidak ada HP korban.
-
Partitur piano yang ditaruh rapi menunjukkan lagu ciptaan terakhir berjudul “Resonansi”.
-
Namun dalam lembar terakhir, ada tulisan tangan kecil:
“Suara bisa membunuh. Tapi diam… bisa mengutuk.”
Detektif Rio tahu sejak awal ini bukan pembunuhan biasa. Ini bukan soal cinta, dendam, atau perampokan. Ini tentang pesan. Tentang simbol. Tentang psikologi.
Bab 3: Autopsi Sunyi
Hasil forensik keluar dua hari kemudian.
Penyebab kematian: luka tusuk jantung bersih, kedalaman 7,2 cm.Waktu kematian: antara pukul 02:00–02:30.Unik: tidak ditemukan bekas perjuangan atau luka lain. Korban tampaknya duduk tenang saat dibunuh.Pemeriksaan kuku dan kulit tidak menemukan DNA asing.Namun… ditemukan residu serbuk perak di pangkal luka dan jejak mikro bahan pengawet formalin pada rambut korban.
“Formalin?” tanya Rio.
“Ya,” kata dokter forensik. “Seolah pelaku ingin... memperlambat pembusukan.”
Bab 4: Psikologi Nada Mati
Detektif Rio menelusuri kehidupan Felia:
-
Seorang jenius musik klasik, dikenal pendiam, perfeksionis, dan obsesif.
-
Lima bulan sebelum kematian, ia mengadakan konser bertajuk “Musik dari Alam Bawah Sadar.”
-
Di konser itu, ia memperkenalkan lagu yang disusun dari gelombang EEG otak pasien gangguan kepribadian ganda. Lagu itu sempat viral karena menimbulkan rasa gelisah mendalam bagi pendengar.
Detektif Rio bertanya-tanya:
“Apakah musik bisa dipakai sebagai senjata psikologis? Atau sebagai kode untuk pembunuh?”
Ia membawa partitur terakhir “Resonansi” ke seorang ahli teori musik gelap. Jawabannya mengejutkan:
“Nada D♯ secara simbolis sering dihubungkan dengan kematian mendadak dalam tradisi musik gotik. Ada legenda bahwa D♯ dalam tangga nada minor digunakan dalam ritual suara untuk membangkitkan ‘resonansi mematikan’.”
Bab 5: Cermin Telinga Kiri
Penyelidikan berlanjut saat Rio menemukan cermin kecil tersembunyi di belakang piano. Di baliknya, tertempel foto lama yang dilipat: foto Felia bersama seorang pria bernama Reinaldo, mantan terapis musik yang dipecat dari universitas tempat Felia mengajar.
Reinaldo menghilang 4 bulan sebelum Felia tewas.
Detektif Rio menyusuri jejak digitalnya — nihil. Tapi satu pesan suara anonim masuk ke ponsel korban sehari sebelum kematian:
“Aku telah menyusun nada sempurna. Kau tak bisa mendiamkan ini, Felia. Nada terakhir... akan mematikan egomu.”
Bab 6: Final yang Tak Disangka
Dengan bantuan AI suara dan filter audio, Detektif Rio mengurai pesan suara itu. Pengirimnya ternyata Reinaldo, tapi suaranya tak utuh. Rio menemukan bahwa dalam pesan itu tersembunyi frekuensi tidak terdengar yang menyebabkan gangguan irama jantung pada pendengar dengan kondisi tertentu.
Detektif Rio mengaitkan semua ini:
-
Nada D♯ = pemicu neurologis
-
Formalin dan pengaturan posisi tubuh = pementasan kematian
-
Pesan suara frekuensi rendah = senjata psikologis
Reinaldo telah menciptakan lagu bunuh diri, dan Felia adalah "alat musik"-nya. Ia tak membunuh dengan tangan, tapi dengan ketakutan dan resonansi jiwa.
Epilog: Lagu yang Tak Pernah Diputar
Reinaldo akhirnya ditemukan di ruang bawah tanah rumah sakit jiwa, dalam kondisi setengah sadar, terus memainkan nada yang sama di piano usang: D♯, D♯, D♯…
Ia tak lagi bisa berbicara. Hanya mata kosong yang menghadap ke langit-langit. Tak pernah mengaku. Tapi Rio tahu—ia telah merancang pembunuhan yang tak terlihat.
“Kadang, peluru tak berbentuk logam. Kadang, senjata adalah suara... dan korban bahkan tak tahu bahwa ia telah ditembak,” kata Detektif Rio, sambil menutup partitur terakhir Felia.
@SeptaDhana
- Cerita ; Akhir dari Detektif Rio (Lanjutan dari kasus sebelumnya)
- Cerita ; Simetri Cermin (lanjutan dari Perjamuan Sunyi dan Resonansi Terakhir)
- Cerita ; Perjamuan Sunyi
- Cerita ; Resonansi Terakhir
- Cerita ; Bayangan di Kamar 308 - Berdasarkan Kisah Nyata
- Cerita ; Aurora: Penjaga Bintang Terakhir
- AI PART 01: Awal dari Kecerdasan Buatan yang Mengubah Dunia!
- Kartun AI Anomali: Lucu Tapi Bisa Merusak Pola Pikir Anak, Jangan Sampai Anak Kamu Nonton Kartun AI Ini! Ini Alasannya...
- Sangkuriang Baru - Bahasa Jawa
- EduFAIR 2025 Membuat Comic
No comments:
Post a Comment