Cerita ; Darah Para Penerus

Satu pembunuhan membuka rahasia gelap yang dikubur selama empat generasi.


Bab 1: Surat Undangan dari Masa Lalu

Jakarta, 9 Februari 2025.
Detektif Rio menerima surat undangan yang dikirim tanpa nama. Dicetak dengan mesin tik tua, hanya bertuliskan:

“Kehadiran Anda ditunggu untuk menyaksikan generasi terakhir dari keluarga Tirtoatmodjo.
Pukul 20.00, Sabtu malam.
Di rumah leluhur, Desa Trawas, Jawa Timur.”

Detektif Rio awalnya mengira itu hanya undangan pertemuan keluarga kaya. Tapi ia segera berubah pikiran setelah membaca satu baris terakhir, yang tertulis dengan tinta darah:

“Darah yang ditumpahkan dahulu belum kering di jiwa yang diwariskan.”



Bab 2: Malam Berdarah di Rumah Kuno

Sabtu malam, rumah megah bergaya Indis kolonial di kaki Gunung Penanggungan berdiri dingin dan diam. Hanya delapan anggota keluarga besar Tirtoatmodjo yang hadir malam itu — mewakili empat generasi dari dinasti konglomerat lama yang sekarang hidup terpencar.

Namun pukul 21.03, listrik padam. Dalam 8 menit kemudian, ditemukan jasad Putri Ganis Tirtoatmodjo, cucu bungsu pewaris keluarga, usia 23 tahun — tewas tergantung di pohon waru tua di belakang rumah.

Yang mengerikan: matanya terbuka, lidah terpotong, dan di dadanya terpahat kata:

“WARA”

Detektif Rio langsung mencium keganjilan. Ini bukan bunuh diri. Ini... pesan.



Bab 3: Rahasia Leluhur

Detektif Rio menyisir arsip keluarga dan menemukan fakta mencengangkan:

Kata “WARA” adalah nama sandi dari jaringan perlawanan bawah tanah pada tahun 1948 — kelompok yang dulu dibentuk oleh kakek buyut keluarga Tirtoatmodjo, Kolonel Iskandar Tirtoatmodjo, namun kemudian dituduh berkhianat terhadap republik dan menghilang dari sejarah resmi.

Namun tak ada bukti pengkhianatan yang ditemukan. Nama Kolonel Iskandar seperti dihapus dari buku sejarah. Tapi dalam diari tua di perpustakaan rumah, tertulis:

“Jika mereka tahu darah siapa yang mengalir di tubuh kita, mereka akan mengubur kita berkali-kali. Maka simpanlah rahasia, bahkan dari anakmu sendiri.”



Bab 4: Pembunuhan Kedua - Simetri Waktu

Malam kedua, kejadian tragis terulang. Santosa Tirtoatmodjo, saudara tertua pewaris, ditemukan tewas di kamarnya. Leher patah. Mulut disumpal dengan foto tua hitam putih yang menunjukkan sekelompok tentara zaman revolusi.

Detektif Rio memperbesar foto. Salah satu pria di tengah, yang digaris merah, mengenakan kalung salib dengan simbol terbalik.

Detektif Rio mencocokkan simbol itu dan menemukan:
Salib itu bukan lambang agama. Itu lambang organisasi bawah tanah “Tali Gelap” — kelompok eksekutor rahasia yang bekerja untuk pembersihan politik tahun 1960-an.

Detektif Rio mulai memahami: pembunuh sedang mengungkap lapisan dosa keluarga ini — dari satu generasi ke generasi lain.



Bab 5: Forensik Berdarah Dingin

Dari luka-luka pada tubuh korban, ditemukan tanda khas:

  • Luka dengan tekanan presisi, seolah dilakukan oleh eks algojo terlatih.

  • DNA di rambut korban cocok dengan salah satu pelayan tua yang menghilang 30 tahun lalu: Surya, mantan pengawal pribadi Kolonel Iskandar.

Namun Surya… dilaporkan meninggal tahun 1995. Makamnya ada.

Detektif Rio meminta ekskavasi makam. Dan benar saja:
Petinya kosong.



Bab 6: Teror Lintas Generasi

Detektif Rio menyimpulkan:

Seseorang — atau kelompok — sedang mengeksekusi garis keturunan keluarga ini satu per satu, menggunakan pola-pola pembalasan berdasarkan sejarah gelap keluarga.

Ia menyebut operasi ini: “Kode Darah” — kode eksekusi berdasarkan catatan rahasia masa lalu.

Korban berikutnya tak menunggu lama: Cucu kembar, Yudha dan Yoga, ditemukan dalam posisi seperti foto potret keluarga 1962, tapi dengan satu tangan terputus dan dijepit di album keluarga.



Bab 7: Rahasia Terakhir

Detektif Rio menemukan bahwa semua korban adalah keturunan langsung dari satu istri rahasia Kolonel Iskandar, yang dinikahi diam-diam saat operasi gerilya. Namun istri itu adalah anggota intelijen lawan — dan ketika ketahuan, ia dieksekusi secara rahasia oleh kelompok “Tali Gelap”, dan anak yang dikandungnya diakui sebagai anak keluarga Tirtoatmodjo.

Detektif Rio sadar:
Pembunuh bukan orang luar. Tapi salah satu keturunan “istri gelap” yang selama ini menyamar — dan kini menuntut balas.



Bab 8: Konfrontasi

Malam terakhir, hanya tersisa dua anggota keluarga — dan Detektif Rio.
Di ruang bawah tanah, Rio menghadapkan mereka dengan satu foto.

“Salah satu dari kalian bukan cucu pewaris, tapi anak dari garis yang dipendam dalam darah.”

Tiba-tiba, Vira Tirtoatmodjo, psikolog muda yang selama ini pendiam, menyeringai.

“Akhirnya kamu sampai juga, Rio. Tapi kamu salah.”

Ia melemparkan folder ke meja.

“Aku bukan pembunuh. Aku… pewaris dari pembunuh. Ayahku Surya. Ibuku… istri yang kalian bunuh diam-diam. Dan ini belum berakhir.”



Bab 9: Pewaris Terakhir

Detektif Rio menghentikan Vira sebelum ia membakar seluruh rumah. Ia menyerah. Tapi saat ditahan, ia hanya tertawa:

“Ini bukan pembalasan. Ini… koreksi sejarah.”

Ia menunjukkan tato di punggungnya: tulisan kecil dalam Sanskerta yang berarti: “Yang dirahasiakan akan diturunkan lewat darah.”



Epilog: Simfoni Ketidakadilan

Kasus ditutup. Lima anggota keluarga terbunuh. Tiga lainnya dalam pengawasan.

Tapi Detektif Rio tahu:
Penyelidikan ini bukan soal siapa pelaku. Tapi tentang narasi siapa yang bertahan.

“Setiap keluarga besar menyimpan sejarah kelam. Tapi ketika mereka mencoba menyembunyikannya, darah turunannya akan menuntut kebenaran — bukan melalui kata, tapi dengan kematian.”


Semoga Menghibur.
@RSW

Baca Juga:

No comments: